Wednesday, May 30, 2012

Me, You, v.s. Zombie Apocalypse


The idea for this post came from our conversation with our friends while watching The Walking Dead (great show, by the way). “What if you turned into a zombie?” A simple question, but opened a lot of doors of imagination in my mind. Here, I’m going to present you a ‘what if’ situation and how it’s going to be look like. Let’s start anyway, okay?

Situation 1

We both survive at the start of the apocalypse, if we separated at the start, we find each other first then we scavenge the city in search for food, water, shelter, and other survival stuff. We’ll do anything that we know from a zombie-themed movie, video games, or other media. Maybe we’re going to argue about something, I don’t know, it’s not a good thing though because we only have each other, literally.  I’ll pass killing zombie unless I really really really really have to, don’t know about you.

I don’t know what we’re gonna do if we someone else in danger, because, I think, we don’t need to risk our safety.

I don’t think we’re going to join a group. Because, if we’re in a group, we need to think about more people which means we need to think more and it’s going to be too complicated... so, yeah, just the two of us.

Situation 2

I’ve got bitten by a zombie. Kill me? Keep me? Wait until I turned into a zombie? Your choice. But if you want to kill me, please shoot me (or do something) on my head, so, you know, I don’t turned into one and attack you.

And before you do it, please give me a little kiss on my forehead* and say "I love you", okay?

*I want to say ‘lips’ but there’s a risk that the virus (or anything that caused this) will transmitted into your blood so... forehead is enough.

Situation 3

You’re the one who get bitten. Man... that’s sucks.

I think I’m going to kill you before you turned into one. I don’t want to see you screaming in pain and I don’t want to see you screaming while attacking me.

“I’m sorry...” *kiss you on the forehead* "I love you." *walk back a little* *BANG!*

***

Well, that’s it. That’s what I can think about zombie apocalypse, for now. What do you think?

For those who don’t believe in zombie apocalypse, yet, here: http://www.huffingtonpost.com/2012/05/26/naked-man-eating-victims-face-killed-miami_n_1548359.html




Saturday, May 26, 2012

On Saturday

Saturday night.

When other people talking about shit and stuff about many things, especially about their singularity, here I am, in front of my laptop, with you on the other side, connected by wireless technological mumbo jumbo.

Do I want more than this? Hell yeah I am. I want you right here, right now, with me, cuddled up with each other until the sun rise from the east.


But, well, I know we can't do that... not now, not yet.

And that's not a problem, not at all.

So, let us (and our laptops) spent tonight with love, shall we?

I love you, shorty.

Thursday, May 17, 2012

A Letter to You


Kepada kamu yang ada di dalam kamu, yang terkadang muncul, merasionalkan semuanya.

Apa kabar? Aku? Baik-baik saja... atau setidaknya, anggap saja begitu.

Sebetulnya, aku ingin menyusun lebih banyak kata lagi di paragraf pembuka ini, tetapi tidak bisa. Oleh karena itu, kita langsung saja ke hal yang sangat ingin aku tanyakan kepadamu:

Apakah kamu masih ragu?

Jika jawabannya “tidak”, maka aku akan berterimakasih.

Jika jawabannya “ya”, tidak masalah, itu bukan masalah.

Dalam surat ini, aku ingin memberitahu, jika masih ada keraguan yang ada di dalam kamu yang ada di dalam kamu, biarkan aku yang menghilangkannya.

Tidak, kamu tidak perlu percaya kepadaku, karena aku sendiri memang tidak bisa menjamin apa-apa. Tapi, cobalah untuk menunggu, menunggu hingga semua keraguan yang ada berhasil aku hilangkan.

Biarkan aku menjadi matahari yang mencairkan gunung es bernama keraguan di dalammu, secara perlahan.

Aku disini, memberitahu, kalau aku sudah menemukan kenyamanan, dan aku tidak ingin kenyamanan itu pergi, dengan atau tanpa alasan.

Mungkin terdengar klise, membosankan, atau hal umum lainnya.

Tapi aku tidak berbohong.


p.s. kepada kamu yang memiliki kamu di dalam kamu ini, aku sayang kamu


Saturday, May 12, 2012

Waktu dan Ruang


“Ah, salah lagi.”

Gumamku sambil menutup pintu yang baru terbuka sedikit itu secara perlahan.

Entah sudah berapa lama waktu yang aku habiskan di sini, di suatu lorong hitam, dengan banyak pintu berwarna putih di sebelah kanan dan kiri. Sendirian, dengan pisau putih di saku kanan celanaku.

“Baiklah, kalau begitu, pintu yang selanjutnya.”

Aku berjalan menuju pintu selanjutnya, entah pintu yang keberapa. Kugenggam gagang pintu dengan tangan kananku, kubuka secara perlahan, aku mengintip melalui celah kecil yang kubuat itu. Kurasakan cahaya mentari sore menusuk mataku. Aku gerakkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. Terlihat beberapa orang duduk pada kursi yang berjauhan, semuanya memejamkan mata mereka masing-masing dan terlihat seorang perempuan yang sedang berdiri di dekat sebuah pintu kereta.

“I... itu dia. Akhirnya! Akhirnya!”

Kubuka pintu semakin lebar, kulangkahkan kakiku ke dalam. Dia belum menyadari keberadaanku.

Kuambil pisau yang ada di saku celanaku. Kulangkahkan kaki ini perlahan-lahan menuju dia.

Dan sekarang aku sudah ada dibelakang perempuan ini. Kutarik nafas dalam-dalam, dan kumulai rencana yang sudah kusimpan dari awal aku terjebak di lorong itu.

“Jangan berteriak, atau kubunuh masa lalumu!”

Ucapku sambil menempelkan pisau ini ke lehernya.

“A-aku tidak punya uang untuk diberikan. Tidak ada sepeser pun uang di dompetku. Di sakuku hanya ada uang receh dan tiket kereta. Aku tidak punya barang berharga untuk kau ambil.” Jawabnya lirih.

“Aku tidak mau uangmu.”
“Lalu apa?”
“Aku… ingin membunuh masa lalumu.”

Diam terdiam, tidak menjawab perkataanku.

“Kenapa diam?!” bentakku di telinganya.

“Lalu aku harus bilang apa? Apa aku harus menjawab “Ya” saat kau bilang mau membunuh masa laluku? Hah?” Kali ini dia menjawab. Dapat kurasakan keberanian di balik kata-kata yang dia keluarkan.

Kutarik pisau dari lehernya. Kurasakan sesak di dada. Dan entah mengapa, air keluar dari mataku.

“Apa pun yang terjadi nanti, begitu kau sudah sampai di stasiun kereta berikutnya, jangan coba-coba turun. Lekas pulang, dan lupakan saja kalau kejadian ini sempat terjadi.” Ujarku.

“Kenapa? Itu kan stasiun kereta tujuanku? Apa urusanmu? Tapi aku…”
“Ini bukan perundingan! Ini perintah! Kalau kau tetap nekat turun, bukan hanya masa lalumu yang aku bunuh, tapi aku juga tak akan segan turut mengambil nyawamu.”
 “Bicara ap…”
“Diam!”
“…”
“Bagus, begitu…” Aku menghela nafas, kulanjutkan kata-kataku, “Kuulangi sekali lagi, begitu sampai di stasiun selanjutnya, jangan turun. Teruskan perjalananmu sampai stasiun selanjutnya, lalu segera pulang. Aku tidak mau tahu apa akibatnya nanti jika kau melanggar. Mengerti?”

Dia mengangguk perlahan.

“Bagus…”
“Siapa sebenarnya…”
“Siapa aku itu tidak penting untuk masa sekarang. Aku hanya penting di masa depanmu dan hal yang aku lakukan saat ini adalah untuk memastikan hal itu tetap terjadi.”
Dia mengerutkan alisnya dengan penuh keheranan. Sepertinya dia tidak mengerti dengan semua yang terjadi ini. Dan memang seharusnya begitu.

Perlahan kuturunkan pisau itu dari leher miliknya... menuju dada. Tepat di depan tempat di mana di dalamnya ada jantung yang sedang berdetak.

“Stasiun berikutnya , masa depan. Pintu yang akan dibuka pintu sebelah kiri. Pintu yanag akan dibuka pintu sebelah kiri.”
“Hah? Stasiun apa? Masa depan?” ujarnya keheranan.

Langsung kutancapkan pisau ini kedalam dadanya, mengoyak bagian dalamnya hingga berantakan.

Dia berteriak kesakitan sambil meronta. Tetapi aku masih bisa menahannya. Kutancapkan pisau ini semakin dalam. Perlahan-lahan perlawanan yang dia buat semakin melemah, sampai akhirnya dia kehabisan tenaga.

Melihat kesadarannya yang semakin menghilang, aku mendekatkan wajahku ke telinganya.

"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, maafkan aku harus melakukan hal seperti ini kepadamu." Bisikku.

Dia berusaha menoleh untuk melihat wajahku. Kemudian ia meraih jemariku, merasakan sebuah besi dingin berinisal namanya yang ada di jariku, sambil berusaha menjauhkan tanganku dari tubuhnya. Tetapi gagal.

Rencanaku sudah selesai. Kembali aku ke lorong hitam itu, menutup pintu, dan meninggalkan tubuhnya yang sudah ditelan oleh kesadaran.

Aku menghela nafas, rasanya sangat melelahkan sekali. Tetapi pada akhirnya, aku menang, atau setidaknya, merasa senang.

Tiba-tiba seluruh pintu yang ada di samping kiri dan kananku menghilang, membuat lorong ini menjadi hitam pekat.

Dalam panik, aku melangkahkan kakiku. Dalam langkah pertama, pijakan yang kuinjak runtuh, pecah, seperti kaca tipis yang tidak bisa menahan bobot beban yang ada di atasnya.

Aku terjatuh. Ke dalam kegelapan.

Kurasakan gravitasi menarikku dengan sangat kencang. Menuju ke sebuah pintu. Pintu putih yang sendirian di dalam kegelapan ini. Dengan sigap, kuarahkan tubuhku ke arah pintu itu.

Dengan kecepatan tinggi aku menabrakkan tubuhku ke pintu tersebut, dan semuanya berubah menjadi putih.



***


Warna putih yang memenuhi penglihatanku perlahan pudar. Membentuk sebuah gambar. Sebuah tempat yang sangat kukenal.

Aku mengarahkan pandanganku keseluruh arah. Gedung ini, seragam ini, tas ini...

“Tunggu, i... ini tidak mungkin.”

Kemudian aku melihat dia. Memakai seragam putih abu-abu sekolah yang sama dengan yang kupakai.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku berlari ke arahnya.

“Hei! Hei tunggu!”

Monday, May 7, 2012

5W + 1H


What?
Convenience.


Who?
Us.


When?
Now and future.


Where?
Anywhere.


Why?
Why not?


How?
Well...


Friday, May 4, 2012

A Letter to The Past

Hello, you.

The one who used to be in her story.

Or maybe you’re still in it? I don’t know. I don’t care.

You know what? You’re lucky. After all those things that you make her through, she still appreciate what’s from you.

And then it’s me. Acting like an ass, tell her what to do and what not to do. Of course she didn’t like it.

Angry? I used to. But then I realized. If I angry (again), it means that I face this alone and that’s wrong, so wrong. Because I have her now, someone that you left (I hope) for forever.

Well, the point is, I don’t care about you anymore and I write this letter because I need it to get off my system.

Oh, another thing, don’t bother trying to get her back, okay? It’s not gonna happen. I won’t let it happen.

Whatever.