Friday, May 31, 2013

Surgeon Simulator: The Review



 
Sebuah game dari Bossa Studio di PC untuk mahasiswa kedokteran, calon dokter, maupun yang ingin tahu apa rasanya menjadi dokter. Tadinya game ini merupakan game Flash yang bisa dimainkan langsung di browser maupun diunduh secara gratis di sini. Beberapa saat kemudian, muncullah versi upgrade dari game ini yang dapat diperoleh melalui Steam. Apa saja perubahan yang ada ada? Well, that’s why I’m reviewing this one heck of a game.

Thursday, May 23, 2013

Welcome to (Fast and) Furious 6, Where Physics Don't Matter and You Know The Asian Guy Is Dead

Let's guess who's dead and who's not


Mengejutkan, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan film Fast and Furious yang keenam ini. Setelah kecewa dengan si botak Bruce Willis di A Good Day to Die Hard dan si botak Dwayne “The Rock” Johnson di GI Joe: Retaliation (karena dua film tersebut berada pada genre yang sama—action), duo botak Vin Diesel dan Dwayne Johnson di Fast and Furious 6 (Furious 6) ternyata sangat memuaskan ekpektasi.

Saturday, May 18, 2013

What I Talk About When I Talk About "Love"


Cinta. Atau itulah yang mereka sebut.

Tertarik dengan seseorang, kemudian mendekati orang tersebut (baca: pedekate), cari apa yang dia suka, kemudian “tembak”. Kalau ditolak maka ada dua pilihan: menjauh, atau mencoba dari awal baik dengan orang yang sama atau dengan yang baru.

Kalau diterima? Masuk ke tahap “pacaran”. Berbicara menggunakan aku-kamu, mengerti apa kemauan pasangan hanya dengan sedikit kata (baca: kode) atau bahkan tidak berbicara sama sekali. Keluar pada malam Minggu untuk entah ngapain (menggunakan uang orang tua, pastinya). Merayakan hari jadi atau yang biasa disebut “Anniversary”... setiap bulan. Dan berbagai macam hal lainnya.

Kalau ada yang salah, kalau ada yang merasa kurang cocok, kalau ada yang bosan, kalau ada entah apa alasan lainnya, maka putus. Menanggalkan label. Untuk mencari lagi yang baru. Untuk mengulangi lagi prosesnya. Atau terkadang, kembali ke orang yang sama.

Wednesday, May 15, 2013

Envy


Iri.
 
Gue iri.

Gue iri dengan mereka yang sudah tidak perlu terjebak di dalam sistem pendidikan (karena sudah terjebak di sistem lainnya).

Gue iri dengan mereka yang sudah tidak perlu terjebak di dalam kebosanan kelas (karena sudah terjebak di dalam kebosanan tempat kerja).

Haha.

But seriously, separah-parahnya mereka terjebak di dalam kebosanan kantor, mereka sedang melakukan hal yang mereka sukai... atau karena gajinya tinggi... atau mungkin dua-duanya? What a lucky bastard.

Melihat orang-orang yang dapat melakukan suatu hal yang orang lain inginkan.

Melihat orang-orang yang dapat menciptakan suatu hal yang orang lain tak pikirkan.

Melihat orang-orang yang dapat mendapatkan suatu hal yang orang lain inginkan.

Iri.

Ya, gue iri.

Sedangkan gue? Masih dalam proses, masih dalam pembentukan. Mungkin postingan iri ini merupakan contoh kalau gue masih belum siap untuk masuk ke dalam dunia kerja. 

Mungkin.

Tapi untuk sekarang, gue iri.

Decision Decision

Pada jam 08.00 hari ini (15 Mei 2013) di Bale Santika, diadakan sebuah acara dengan nama Sosialisasi Peminatan Fikom Angkatan 2012. Acara apakah itu? Jadi begini...

Di Fikom Unpad ini, setiap memasuki semester tiga, suatu angkatan diberi tiga pilihan jurusan (sekarang disebut prodi—yang entah artinya apa). Jurusan yang dapat dipilih adalah Manajemen Komunikasi, Public Relation (Hubungan Masyarakat), dan Jurnalistik. Masing-masing jurusan memiliki mata kuliah, cara merangkul mahasiswa, dan prestasi tersendiri.

Berbeda dengan penjurusan di SMA, yang menentukan pilihan di Fikom ini adalah kita. Benar-benar kita sendiri. Cara memilihnyapun mudah, tinggal isi  formulir yang diberikan, dikembalikan ke SBA (atau Tata Usaha jika di SMA), dan... selesai. Mudah, kan?

Memilih memang mudah, tetapi menentukan pilihan? Belum tentu.

Gue sendiri sih udah tau jurusan apa yang akan gue pilih. Yaitu jurnalistik.

Kenapa jurnalistik?  Karena kalau dibandingkan dengan jurusan yang lain, jurnalistik merupakan pilihan yang tepat untuk gue (menurut gue). Selain itu, untuk memenuhi cita-cita gue yang sekarang, yaitu menjadi seorang jurnalis video game dan hobby, maka gue merasa jurusan jurnalistik merupakan jurusan yang tepat (sekali lagi, menurut gue).

Oh, mengenai jurnalistik, mungkin terdengar subjektif, tapi di sosialisasi tadi gue merasa mereka memberi presentasi yang paling jujur. Mereka menunjukkan bagaimana kerasnya dunia (perkuliahan) jurnalistik tanpa membangga-banggakan kelebihan mereka, tanpa memberi janji-janji dan keramahan palsu. Tapi itu menurut gue, ya. 

Tapi itu menurut gue, entah gimana kenyataannya.

Kenyataan yang gue maksud di sini tidak lain dan tidak bukan adalah osjur (ospek jurusan). Mungkin akibat ospek-ospek yang sudah pernah gue lewati, gue menjadi paranoid setiap mendengar kata “ospek”.

Oleh karena itu, untuk sekarang ini, gue akan menurunkan ekspektasi dan berharap mereka (senior) akan menyambut gue (kita?) dengan drama (lagi) saat di jurusan tersebut nantinya.

Saturday, May 11, 2013

One of The Question I'll Probably Ask God Sometimes Later



Kita terlahir tanpa keinginan untuk terlahir. Kita terlahir tanpa tahu apa tujuan kita terlahir.


Dua hal tersebut hanyalah contoh kecil tentang keindahan—sekaligus kutukan—dari kehidupan.



Jadi, untuk apa kita terlahir? Mengikuti sedemikian banyak aturan yang sudah direvisi beratus-ratus kali, tenggelam dalam adat yang sudah tercampur-aduk oleh jutaan adat lainnya, hingga mengikuti etika hasil pengalaman berjuta-juta tahun, untuk apa?


Bukannya tidak mensyukuri kondisi gue yang sampai saat ini (masih) hidup, tapi seiring dengan berjalannya waktu, otak yang makin terproses, dan dunia yang terus berubah, gue merasa sah-sah saja mempertanyakan hal ini:



“Apa tujuan kita hidup?” 



Untuk apa kita mengikuti sedemikian tahap dalam hidup untuk diakhiri dengan kematian?


Untuk apa kita memasang suatu target dalam hidup untuk diakhiri dengan kematian?


Untuk apa membuat banyak pilihan dengan berbagai konsekuensi untuk diakhiri dengan kematian?

Jadi, apa?

Saturday, May 4, 2013

Malam Minggu dengan Teh Hangat dan SUM 41



Kita lahir untuk belajar. Kemudian kita belajar hal yang lebih tinggi, untuk kemudian belajar yang lebih tinggi lagi, lagi, lagi, dan lagi untuk selanjutnya bekerja, berusaha bertahan hidup di dalam rutinitas, untuk kemudian mati. Dan selesai.

Bohong kalau gue bilang gue gak takut. Tapi bukan kematian yang gue takuti (‘cause the reason we live is to die, no?). Tapi rutinitias. Mengikuti suatu arus berputar-putar untuk sama dengan  bermacam manusia lainnya, untuk menyesal di hari akhir nanti.

Dari awal kita diseragamkan. Dari pakaian hingga pikiran.

Itu yang gue takuti, untuk menjadi sama dengan yang lain. Jangan salah, gue menghormati orang-orang yang sudah bisa menghidupi kebutuhan mereka sendiri, apapun caranya—tanpa merugikan orang lain, pastinya. Gak seperti gue yang (sejauh ini) masih menjilati keringat orang tua.

Tapi kalau bisa (dan harus bisa), gue gak mau hidup untuk bekerja. Gue mau bekerja agar gue bisa (bertahan) hidup. Pekerjaan yang gue kerjakanpun harus yang gue suka dan gak merugikan orang lain. Banyak maunya, ya? Gak apa-apa, mumpung masih mahasiswa, mumpung idealisme masih tinggi.

Gue gak takut menjadi tua, selain karena wajah gue yang memang sudah visioner, gue lebih suka suatu hari nanti bernostalgia masa kecil dengan melihat tingkah anak-anak gue, bukan ngerengek tentang bagaimana gue “Pengen jadi anak kecil lagi!”. Bukankah kita yang waktu kecil dulu ingin cepat besar? Kok sekarang malah jilat ludah sendiri?

Dan saat meninggal nanti, gue ingin meninggal dengan keadaan terdamai yang gue bisa. Meninggal setelah ortu gue meninggal dan sebelum anak gue nanti meninggal. Diakhiri dengan ciuman di kening oleh seseorang yang gue cintai atau yang mencintai gue.