Sebuah film dimana saat melihat trailer-nya untuk pertama
kali, hype-meter gue langsung maksimal karena gak lain dan gak bukan sutradara
film ini adalah Quentin Tarantino.
Sebelum menonton film ini, gue sarankan untuk menonton beberapa
filmnya yang terdahulu seperti Pulp Fiction, Kill Bill (Vol. 1 & 2), dan
Inglourious Basterds agar terbiasa dengan cara penyampaian film ala Quentin
Tarantino.
Oke, mari kita mulai saja review-nya.
Djangooooooooo~ |
Pertama, cerita tentang Django Unchained dulu:
Film ini ber-setting pada tahun 1858 dan mengambil tema
perbudakan orang kulit hitam. Django (Jamie Foxx) sebagai salah satu budak,
dibebaskan oleh seorang dokter gigi berdarah Jerman, Dr. King Schultz (Christoph Waltz)
yang berubah haluan menjadi seorang bounty hunter (pemburu hadiah, dimana yang
diburu adalah manusia dan hadiahnya adalah uang). Schultz sendiri membebaskan
Django untuk membantunya dalam berburu target buruannya, setelah selesai,
Schultz memberikan Django bantuan untuk mencari istrinya, Broomhilda (Kerry
Washington).
Untuk yang penasaran, antagonis utama di film ini adalah Calvin
J. Candie, seorang pengusaha yang memiliki hobi untuk mengadu budak kulit hitam
dalam suatu pertarungan yang disebut “Mandingo Fight” yang diperankan dengan
amat brilian oleh Leonardi DiCaprio dan Stephen, seorang pelayan turun temurun
dalam keluarga Candie yang dengan sangat menyebalkannya diperankan oleh Samuel
L. Jackson.
"You had my curiosity, now you have my attention" |
Sekarang, mari kita membahas filmnya:
Tema yang diambil (perbudakan kulit hitam) mungkin agak
asing untuk banyak orang Indonesia karena sedikitnya pembahasan terhadap
masalah tersebut di sini, tapi hal itu tidak akan membuat kita sampai kebingungan
untuk menikmati film ini. Simpulkan saja seperti ini: Orang kulit hitam
dianggap lebih rendah dan kalau tidak menjadi budak, hanya bisa menjadi pelayan—tentunya
dengan perlakuan yang berbeda. Plot filmnya sendiri dapat dengan mudah
dimengerti.
Terdapat adegan kekerasan yang ditampilkan dengan sangat
jelas di film ini. Tetapi dengan sinematografi khas Quentin, darah bercipratan
dan teriakan kesakitan menjadi sesuatu hal yang menarik disimak dan bahkan
dapat dianggap lucu. Setidaknya buat gue seperti itu.
Dialog dan interaksi antar tokoh juga menjadi hal yang menarik
disimak. Untuk hal ini, akting Chris Waltz dan Leonardo DiCaprio patut diacungi
banyak jempol. Mereka dapat menampilkan sifat dari masing-masing karakter
dengan sangat baik dan khas. Sayangnya, akting Jamie Foxx yang berperan sebagai
karakter utama kalah dibandingkan kedua aktor tersebut.
Walaupun begitu, hal itu terbayar dalam adegan-adegan aksi
dan one-liner yang dilontarkan oleh Django karena dalam adegan terssbut, Django digambarkan sebagai seorang badass.
"I like the way you die, boy!" |
Musik di film ini juga menjadi hal yang menonjol.
Musik-musik yang disajikan, walaupun ada beberapa musik yang dirasa kurang
sesuai dengan settingan waktu, tetap
menyenangkan untuk didengar bersamaan dengan adegan yang sedang berlangsung.
Dari awal hingga akhir, ini adalah film yang membangun
adegan demi adegan hingga mencapai klimaks dengan amat baik. Jumlah adegan aksi
yang ada terasa cukup dan dialog antar tokoh dikemas secara rapi dan menarik.
Kalau sebelumnya pernah menonton (dan menikmati) film-film
Quentin lainnya, dapat dipastikan lo akan segera menikmati film ini dan akan
terus teringat saat keluar dari bioskop hingga—mungkin—membuat review untuk
film ini.
Untuk yang belum pernah menonton film khas Quentin, ini
adalah saat yang tepat untuk masuk ke dalam dunia sinematografi ala Quentin
Tarantino dan menikmati dialog menakjubkan dan adegan kekerasan tanpa perlu
berteriak “ERGH!! APA INI!?!?”.
p.s. di film ini, lo akan melihat tititnya Jamie Foxx, sekian.
No comments:
Post a Comment