Gak terasa udah dua semester gue “tinggal” di Jatinangor ini—
Oke, gue bohong. Dua semester. Satu tahun. Gak terasa? Bullshit.Terasa tentunya. Dari ujung
kaki hingga ujung rambut. Lengkap dengan darah, keringat, dan air mata.
Satu tahun. Damn.Satu
tahun udah gue habiskan di tempat ini. Di Jatinangor ini. Di tempat yang
awalnya gak gue kenal ini. Dan sekarang—mau gak mau—akan gue habiskan untuk
tiga tahun kedepan.
Well, shit.
For the heads up,
postingan kali ini berisi deskripsi serta (sedikit atau banyak) pendapat gue
tentang daerah Jatinangor, tempat kost, universitas, dan fakultas yang ada di
keseharian gue.
Well, here we go...
The Region
Jatinangor. Dulu daerah ini masuk kategori “antah-berantah”
di dalam kepala gue karena, yah, karena gue bener-bener gak tau di mana daerah
ini. Lucunya, waktu SMA gue sering melewati daerah ini karena beberapa kali
pergi ke Sumedang bersama kawan-kawan KIR. Tapi karena hanya selewat saja, ya
guenya gak terlalu peduli. Dan beberapa tahun kemudian di sinilah gue
berkuliah. Tempat yang tadinya hanya dilewati beberapa kali, menjadi “rumah
kedua” gue. Funny, eh?
Gue sendiri senang dengan keadaan di Jatinangor. Udaranya
enak, panas tapi gak sekeparat Jakarta, sejuk walau terkadang terlalu dingin
(apalagi di malam hari), dan angin yang sering bertiup agak kencang membuat
daerah ini semakin nyaman (untuk gue). Gue jadi lebih sering jalan kaki di
sini, bahkan naik angkot sudah menjadi makanan sehari-hari (gak seperti di Jakarta).
Sayang, mungkin karena jarang dilewati pejabat, jalanan di sini kurang terurus.
Harga (makanan) yang ada di sini juga terhitung murah, walau
hal tersebut malah menjadi pedang bermata dua bagi gue karena uang yang bisa
gue habiskan untuk hiburan (seperti game,
mainan, dan manga) menjadi
bertambah. Makanan berbahan dasar ayam, lele, dan bebek sangat mudah dicari di
sini, sapi dan kambing lumayan mudah didapatkan. Sayangnya, ikan (laut) sulit
ditemukan dan untuk gue yang sangat memfavoritkan makanan berbahan dasar tersebut,
hal ini mengecewakan.
Gak sulit “menguasai” daerah kecil ini. Daerah yang kecil
ditambah adanya akun yang mendedikasikan diri mereka untuk berbagi informasi
seputar Jatinangor, kira-kira lima hari sudah merupakan waktu yang cukup untuk
mengetahui di mana tempat untuk makan, alat tulis, dan beberapa kebutuhan
mahasiswa lainnya.
The Second House
Ngekost. Rasanya sudah menjadi hal yang wajar untuk mahasiswa mencari “rumah kedua” di daerah dekat tempat ia berkuliah, termasuk gue. Gue ingin mencoba suatu hal yang baru, suatu tempat yang baru, di tempat yang bukan Jakarta. Dan di sinilah gue, di tempat kost di mana gue sedang menulis tentang tempat kost ini. Kostception.
Uh, okay, that was
unnecessary.
Bentuk tempatnya lebih mirip hotel dibanding rumah-rumah
yang dijadikan kost. Terdiri dari beberapa lantai dengan nomor di tiap pintunya
(walau sekarang, karena kost udah menjadi bisnis, hampir semuanya seperti ini),
berbentuk persegi panjang, dan dengan (sejenis) taman di lantai teratas.
Agaknya tempat ini masih dalam perkembangan karena masih ada
pembangunan di sana-sini, penambahan dan pembetulan fasilitas, dan lain-lain.
Awalnya memang ada kendala di sini-situ. Udara pengap,
(sejenis) jamur di meja dan lemari, langit-langit bocor di kamar mandi, hingga
barang-barang yang berantakan, tapi pada akhirnya (kecuali barang yang
berantakan) bisa teratasi. Karena gue merasa semakin lama semakin nyaman di
sini (ditambah guenya yang memang malas untuk membereskan barang-barang gue),
maka gue memutuskan untuk tidak pindah. Setidaknya untuk satu tahun ke depan.
Untuk kontak dengan manusia yang ada di kostan ini, gue
malas melakukannya. Satu tahun berlalu dan gue gak tau siapa saja nama orang
yang tinggal selantai dengan gue. Tahu keberadaan mereka? Iya, tapi gak pernah
berinteraksi seperti ngobrol-ngobrol ya
karena... gue gak mau. Mereka sendiri sih udah sering membuat suara-suara
hingga jam satu pagi karena saling mengenal, gue? Tetap mengurung diri di dalam
kamar, tenggelam di dalam lautan internet.
Kucing. Secara mengejutkan gue boleh memelihara kucing di
sini. Secara teknis gue membawa kucingnya masuk dulu baru baru menanyakan boleh
atau tidaknya tapi ya... intinya, di kostan ini, gue boleh memelihara kucing—dua
kucing lebih tepatnya—yang gue pungut dari jalan. And it really help me keeps my sanity for real.
So, yeah, this house
is a comfortable house. But not my home. And never will be.
The University
Universitas Padjadjaran. Setiap mendengar nama tersebut, yang muncul di otak mereka pastilah “Bandung”, tapi ya di sinilah pusat sebetulnya, di Jatinangor. Tempatnya enak, nyaman, mirip dengan suasana Jatinangor minus kendaraan dan jalan rusak. Banyak jalan menanjak dan menurun tapi bukan masalah karena adanya kendaraan umum gratis yang mengitari seluruh Padjadjaran walau biasanya over-capacity sehingga gue lebih memilih untuk berjalan kaki.
Sama halnya dengan Jatinangor, ternyata gue pernah
menjejakkan kaki di tempat ini walau pada saat itu gue gak tau kalau gue berada
di Universitas Padjadjaran. Heh, gue sendiri saat mendaftar SNMPTN hingga
menulis Fikom Unpad di pilihan kampus, gak tau Unpad itu apa-dan-bagaimanya.
Dan sampai saat gue menulis postingan ini, agaknya Unpad masih “asing” untuk
gue.
Anjing. Ya, di salah satu tempat di Unpad Jatinangor, ada
tujuh ekor anjing yang ramah. Belakangan ini gue (dengan seorang teman) jadi
sering “merawat” mereka—sekedar memberi makan dan minum, sih. Katanya ada
pemiliknya tapi gak jelas juga (buat gue) dan gak terlalu peduli, yang penting
anjingnya sehat dan bisa diajak main.
Sebagai penutup bagian ini, gue persembahkan sebuah gambar:
Terima kasih.
The Faculty
Apa saja yang di Fikom? Coba gue ingat-ingat...
Terdapat lima gedung dimana satu gedung digunakan berdua
dengan fakultas tetangga (romantic, isn’t
it?) dan satu gedung tempat sebagai markas jurusan-jurusan—yang sekarang
disebut prodi (progam didik?)—di Fikom. Nothing
special though, at least for me.
Lalu ada mesjid yang terkadang mengganggu ketenangan kelas
dalam belajar atau ulangan, lengkap dengan papan mading di depan yang biasanya
berisi wacana tentang liberalisme dan “budaya barat”. Common, stupid, stuff. Ah, bahkan pernah mereka menempelkan wacana
tentang “betapa rusaknya demokrasi dan perlu diganti dengan (cara) islam” yang
menurut gue ironis karena mereka menggunakan jala demokrasi untuk membenci
demokrasi. Oh, well.
Di sebelah mesjid terdapat kantin yang di dalamnya terdapat
berbagai macam pilihan makanan dengan favorit gue yaitu nasi gila yang sudah
menjadi langganan gue hingga taraf yang mengkhawatirkan. Harga yang ditawarkan
sesuai dengan kantong walau sejak kenaikan harga BBM gue belum sempat ke kantin
lagi, entah berapa harganya sekarang.
Di seberang kantin terdapat lapangan futsal yang gue jauhi
karena dua alasan: 1) Gue disambut dengan tidak mengenakkan (baca: ospek) di
situ dan 2) Gue gak main futsal. Kemudian di seberangnya terdapat lapangan
basket yang sampai sekarang belum pernah gue datangi.
I think that’s all.
Hmmm...
Well, that’s it. Agaknya
sudah dulu untuk postingan ini. Untuk cerita tentang perjalanan spiritual gue
dalam dua semester ini akan gue tulis pada postingan lainnya. Mungkin. Semoga.
Thanks for using your time to read this...
stuff. Have a nice day!
No comments:
Post a Comment