Kira-kira makhluk menyedihkan macam apa ya, yang memulai
ospek/MOS/legal bullying sebagai
ajang lucu-lucuan (yang tidak lucu)?
Kira-kira makhluk menyedihkan macam apa ya, yang menggunakan
ospek/MOS/legal bullying sebagai
ajang balas dendam?
Kasihan.
Gue gak suka legal
bullying, jelas. Tapi kalau dilihat-dilihat lagi, sebetulnya yang gue gak
suka (baca: benci) adalah isinya.
Berusaha merendahkan orang lain dengan alasan “bekal di
dunia kerja nanti”.
Berusaha merendahkan orang lain dengan alasan “solidaritas”.
Meneriakkan yel-yel cheesy yang... entah apa tujuannya.
Berusaha menyamakan semua mahasiswa baru yang jelas-jelas
berbeda satu sama lain (lebih ironis lagi, fakultas tempat gue menimba ilmu
adalah fakultas yang banyak membahas bagaimana perbedaan seseorang dengan orang
lain dalam berkomunikasi).
Anak baru melihat petugas legal
bullying sebagai sesuatu yang harus mereka capai... dan gue gak
mengada-ada, memang ada kok orang yang melihat teriakkan Danlap (komandan
lapangan) pada hari pelaksanaan legal
bullying sebagai sesuatu yang keren. Entah apa yang ada di pikiran mereka.
Anak baru tersebutpun berganti kulit, menjadi petugas legal
bullying. Mengulangi hal yang sama. Lagi dan lagi. Dan lagi.
Akhirnya? Terjadilah siklus yang sama berulang-ulang, atau
yang beberapa orang sebut sebagai “lingkaran setan”.
Kemudian, guru/dosen yang ada di sekolah/kampus tersebut.
Kenapa mereka mengizinkannya, ya?
Agar murid/mahasiswa ada kegiatan?
Karena mereka dibohongi saat diberikan proposal kegiatan?
Entahlah.
Well, gue yakin di
luar sana, ada ospek yang benar-benar ospek. Yang benar-benar membantu
mahasiswa baru mengenal lingkungan serta sistem yang ada di dalamnya, tanpa
berusaha merendahkan.
Tapi (sayangnya) sejauh ini, yang gue temui adalah legal bullying.
Well, maybe someday.
p.s. merasa tersinggung—tidak seperti beragama di negara ini—merupakan
pilihan, jadi, misal, kalau saja, saat membaca postingan ini ada yang merasa
tersinggung, maka diri sendirilah yang memilih
untuk merasa tersinggung. Alasan? Memang.
Sekian.