Hujan.
Udara terasa begitu dingin.
Aku berteduh di bawah pohon, beberapa tetesan hujan masih mampu menembus dahan dan ranting yang lebat ini.
Aku raih korek api dari saku kanan celana jeansku. Kugesek pemantik itu beberapa kali hingga api menyala, kemudian aku dekatkan ke sebatang rokok yang sudah terjepit diantara dua bibirku sejak tadi.
Kuhisap dalam-dalam, dan kubiarkan asapnya keluar secara perlahan dari mulutku.
Di seberang jalan tampak orang mengerumuni sebuah mobil yang rusak parah karena menabrak pohon.
Kuperhatikan mereka satu persatu.
Ada yang mengeluarkan telepon genggam mereka untuk merekam atau mengambil gambar. Ada yang menutup mata tidak tega melihat apa yang tejadi dengan orang yang ada di dalam mobil itu. Ada yang hanya diam, mungkin karena terlalu kaget dengan apa yang mereka lihat.
Beberapa orang terlihat berusaha mengeluarkan pengemudi dan penumpang yang berada di bangku depan.
Seorang perempuan berhasil dikeluarkan dari kursi penumpang. Tubuhnya terlihat lemas, mungkin karena shock atas apa yang terjadi dengan dia. Dari keningnya darah mengalir, tetapi langsung ditutup dengan handuk oleh salah seseorang yang ada di situ.
Selanjutnya seorang pemuda dikeluarkan dari kursi pengemudi. Tubuhnya yang dipenuhi darah, yang juga berasal dari keningnya secara perlahan dipindahkan oleh orang-orang. Berbeda dengan si perempuan itu, dia tidak bergerak. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia masih hidup.
Pemuda itu lalu diletakkan di dekat sang perempuan.
Perempuan itu mendekati tubuh sang pemuda. Digenggamnya kedua pundak lelaki itu, lalu digoncangkan dengan keras tubuhnya.
Dia mati. Pemuda itu sudah mati.
Perempuan itu berteriak. Mengeluarkan air dari kedua matanya.
Orang orang di sekitarnya berusaha menenangkan perempuan itu. Tetapi, percuma, dia meronta, dia melawan, dia memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu erat erat.
“Masih belum?”
Tiba-tiba suara itu mengagetkan aku. Aku menengok ke arah kanan. Terlihat seorang bapak tua, dengan pakaian serba putih berdiri di sampingku. Entah kapan dia datang, perhatianku tertuju pada kecelakaan yang ada di depan aku.
“Ah, sebentar lagi, ada satu hal yang harus kuselesaikan.” Aku terdiam sejenak. “Aku tidak tahu mereka membolehkan orang lain untuk menjemput.” ucapku kepada bapak itu.
“Ini permintaanku” jawabnya.
Aku terdiam. Kumatikan rokok yang tinggal sedikit itu. Kemudian aku berjalan, menyeberangi jalan, mendekati tubuh pemuda itu.
Kuperhatikan tubuh itu. Tidak bergerak, penuh darah. Kemudian... aku masuk ke dalam tubuh itu.
Ya, aku kembali ke dalam tubuh aku sendiri.
Semua menjadi hitam. Aku rasakan sakit. Tiap tulang yang bergeser, darah di permukaan kulit, rasa ngilu, semuanya aku rasakan secara sekaligus.
Aku sangat ingin berteriak. Tetapi tidak bisa. Sudah tidak bisa dengan tubuh ini.
Hitam yang ada perlahan lahan berubah menjadi suatu gambar buram. Aku mendapat penglihatan aku kembali, walau sedikit. Sangat sedikit.
Kugerakkan kepala agar aku bisa melihat perempuan itu, terasa ngilu yang sangat hebat walau aku menggerakkannya secara perlahan.
“Lihat! Dia masih hidup!” teriak salah seorang yang ada di situ.
Mendengar kata-kata itu sang perempuan mendekatkan tubuhnya mendekati tubuhku.
Pengliahatanku sangat buram. Tapi aku tahu dia ada di depanku.
Kugerakkan lengan kananku secara perlahan mendekati pipinya.
“Maaf” aku mengucapkan itu kuat-kuat, tetapi tidak keluar melalui mulutku.
“Maaf” sekali lagi aku berusaha mengucapkan kata itu.
“Iya” jawab perempuan itu.
Entah berapa kali aku berusaha mengatakannya. Entah berapa kata yang benar-benar terucap.
Perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Menyentuhkan bibirnya ke bibirku.
Dan semua kembali gelap.
“Jika saja kita tidak berargumen. Jika saja kita dapat menghilangkan rasa kesal dengan senyuman. Jika saja kita dapat memilih waktu dan tempat yang tepat. Jika saja kita tidak perlu bertengkar. Jika saja...”
“Sudah?”
Suara itu memecah kegelapan. Aku membuka mataku. Aku sudah kembali berdiri di bawah bohon itu kembali.
“Iya...” jawabku.
“Sudah tidak ada lagi yang perlu di selesaikan. Ayo kita pergi, Ayah...”
“Entah kapan terakhir kali kamu memanggil aku seperti itu.” jawab ayahku disertai tawanya.
Dan kami pun menghilang, bersama hujan yang digantikan dengan sinar matahari.
Udara terasa begitu dingin.
Aku berteduh di bawah pohon, beberapa tetesan hujan masih mampu menembus dahan dan ranting yang lebat ini.
Aku raih korek api dari saku kanan celana jeansku. Kugesek pemantik itu beberapa kali hingga api menyala, kemudian aku dekatkan ke sebatang rokok yang sudah terjepit diantara dua bibirku sejak tadi.
Kuhisap dalam-dalam, dan kubiarkan asapnya keluar secara perlahan dari mulutku.
Di seberang jalan tampak orang mengerumuni sebuah mobil yang rusak parah karena menabrak pohon.
Kuperhatikan mereka satu persatu.
Ada yang mengeluarkan telepon genggam mereka untuk merekam atau mengambil gambar. Ada yang menutup mata tidak tega melihat apa yang tejadi dengan orang yang ada di dalam mobil itu. Ada yang hanya diam, mungkin karena terlalu kaget dengan apa yang mereka lihat.
Beberapa orang terlihat berusaha mengeluarkan pengemudi dan penumpang yang berada di bangku depan.
Seorang perempuan berhasil dikeluarkan dari kursi penumpang. Tubuhnya terlihat lemas, mungkin karena shock atas apa yang terjadi dengan dia. Dari keningnya darah mengalir, tetapi langsung ditutup dengan handuk oleh salah seseorang yang ada di situ.
Selanjutnya seorang pemuda dikeluarkan dari kursi pengemudi. Tubuhnya yang dipenuhi darah, yang juga berasal dari keningnya secara perlahan dipindahkan oleh orang-orang. Berbeda dengan si perempuan itu, dia tidak bergerak. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia masih hidup.
Pemuda itu lalu diletakkan di dekat sang perempuan.
Perempuan itu mendekati tubuh sang pemuda. Digenggamnya kedua pundak lelaki itu, lalu digoncangkan dengan keras tubuhnya.
Dia mati. Pemuda itu sudah mati.
Perempuan itu berteriak. Mengeluarkan air dari kedua matanya.
Orang orang di sekitarnya berusaha menenangkan perempuan itu. Tetapi, percuma, dia meronta, dia melawan, dia memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu erat erat.
“Masih belum?”
Tiba-tiba suara itu mengagetkan aku. Aku menengok ke arah kanan. Terlihat seorang bapak tua, dengan pakaian serba putih berdiri di sampingku. Entah kapan dia datang, perhatianku tertuju pada kecelakaan yang ada di depan aku.
“Ah, sebentar lagi, ada satu hal yang harus kuselesaikan.” Aku terdiam sejenak. “Aku tidak tahu mereka membolehkan orang lain untuk menjemput.” ucapku kepada bapak itu.
“Ini permintaanku” jawabnya.
Aku terdiam. Kumatikan rokok yang tinggal sedikit itu. Kemudian aku berjalan, menyeberangi jalan, mendekati tubuh pemuda itu.
Kuperhatikan tubuh itu. Tidak bergerak, penuh darah. Kemudian... aku masuk ke dalam tubuh itu.
Ya, aku kembali ke dalam tubuh aku sendiri.
Semua menjadi hitam. Aku rasakan sakit. Tiap tulang yang bergeser, darah di permukaan kulit, rasa ngilu, semuanya aku rasakan secara sekaligus.
Aku sangat ingin berteriak. Tetapi tidak bisa. Sudah tidak bisa dengan tubuh ini.
Hitam yang ada perlahan lahan berubah menjadi suatu gambar buram. Aku mendapat penglihatan aku kembali, walau sedikit. Sangat sedikit.
Kugerakkan kepala agar aku bisa melihat perempuan itu, terasa ngilu yang sangat hebat walau aku menggerakkannya secara perlahan.
“Lihat! Dia masih hidup!” teriak salah seorang yang ada di situ.
Mendengar kata-kata itu sang perempuan mendekatkan tubuhnya mendekati tubuhku.
Pengliahatanku sangat buram. Tapi aku tahu dia ada di depanku.
Kugerakkan lengan kananku secara perlahan mendekati pipinya.
“Maaf” aku mengucapkan itu kuat-kuat, tetapi tidak keluar melalui mulutku.
“Maaf” sekali lagi aku berusaha mengucapkan kata itu.
“Iya” jawab perempuan itu.
Entah berapa kali aku berusaha mengatakannya. Entah berapa kata yang benar-benar terucap.
Perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Menyentuhkan bibirnya ke bibirku.
Dan semua kembali gelap.
“Jika saja kita tidak berargumen. Jika saja kita dapat menghilangkan rasa kesal dengan senyuman. Jika saja kita dapat memilih waktu dan tempat yang tepat. Jika saja kita tidak perlu bertengkar. Jika saja...”
“Sudah?”
Suara itu memecah kegelapan. Aku membuka mataku. Aku sudah kembali berdiri di bawah bohon itu kembali.
“Iya...” jawabku.
“Sudah tidak ada lagi yang perlu di selesaikan. Ayo kita pergi, Ayah...”
“Entah kapan terakhir kali kamu memanggil aku seperti itu.” jawab ayahku disertai tawanya.
Dan kami pun menghilang, bersama hujan yang digantikan dengan sinar matahari.
No comments:
Post a Comment