Pada zaman dahulu kala, terdapat Kelinci yang teramat
sombong yang tiap harinya selalu ia gunakan untuk mengejek Kura-kura karena
jalannya yang lamban.
Suatu hari, dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, Kelinci
menantang si Kura-kura untuk adu lari.
“Pemenangnya boleh
meminta apapun dari yang kalah.” Ucap kelinci.
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapi, pokoknya besok kita akan bertanding
dan ditonton oleh seluruh warga hutan, Singa akan menjadi wasitnya.”
“Ba- baiklah...” jawab kura-kura dengan terpaksa.
Esok harinya, para penduduk hutan sudah berkumpul di tempat
yang dijadikan tempat memulai.
“Jalurnya adalah mengitari hutanku ini. Saat aku mengaum,
tandanya lomba dimulai dan auman kedua adalah tanda lomba berakhir” ucap Singa
yang menjadi wasit pada hari itu.
Singapun mengaum dengan teramat keras hingga terdengar
hingga penjuru hutan.
Kelincipun berlari meninggalkan Kura-kura di garis start.
Kura-kura—yang pada waktu itu yakin akan kalah—berjalan seperti biasa.
Baru beberapa langkah, sesuatu mencengkram tempurung
Kura-kura. Kura-kura yang panik berlindung di dalam rumahnya. Setelah agak
lama, ia mengintip ke bawah, terlihat hutan yang makin lama makin mengecil.
Seketika cengkraman itu dilepas, Kura-kura terjatuh dengan
amat cepat.
Terlihat batu-batuan di bawah.
Batu itu makin mendekat.
Semakin dekat.
Dekat.
Dan...
Sementara itu, Kelinci sudah ¾ perjalanan. Melihat
kebelakang dan tidak ada apa-apa, ia tertawa sambil terus berlari.
Tiba-tiba saja seekor serigala menggigit lehernya.
Tubuhnya digoyang-goyangkan, dara keluar dari lehernya
mengenai pohon, batu, dan tanah yang ada di situ.
KRAK!
Terdengar bunyi tulang yang patah. Serigala yang puas
membawa sosok Kelinci ke dalam semak-semak.
Untuk tidak terlihat lagi.
Di garis finish, penduduk hutan bosan karena Kelinci atau
Kura-kura tidak muncul-muncul. Satu persatu meninggalkan tempat hingga tidak
ada siapapun lagi.
Penduduk hutan melanjutkan hidup mereka seperti biasa.
Selesai.