Cinta. Atau itulah yang mereka sebut.
Tertarik dengan seseorang, kemudian mendekati orang tersebut
(baca: pedekate), cari apa yang dia suka, kemudian “tembak”. Kalau ditolak maka
ada dua pilihan: menjauh, atau mencoba dari awal baik dengan orang yang sama
atau dengan yang baru.
Kalau diterima? Masuk ke tahap “pacaran”. Berbicara
menggunakan aku-kamu, mengerti apa kemauan pasangan hanya dengan sedikit kata
(baca: kode) atau bahkan tidak berbicara sama sekali. Keluar pada malam Minggu
untuk entah ngapain (menggunakan uang orang tua, pastinya). Merayakan hari jadi
atau yang biasa disebut “Anniversary”... setiap bulan. Dan berbagai macam hal
lainnya.
Kalau ada yang salah, kalau ada yang merasa kurang cocok,
kalau ada yang bosan, kalau ada entah apa alasan lainnya, maka putus.
Menanggalkan label. Untuk mencari lagi yang baru. Untuk mengulangi lagi
prosesnya. Atau terkadang, kembali ke orang yang sama.
Kira-kira itulah apa yang gue tau tentang “cinta” di saat
gue SMP. Entah siapa yang memulai tradisi tersebut, entah kenapa gue mau
mengikuti tradisi tersebut. I tasted it
for a few times and I’m really not proud of it.
On high-school though,
something happened and somehow it changed about how I react to this so-called “love”.
Dengan otak yang semakin berkembang, gue bertanya-tanya:
Kenapa perlu “pedekate”?
Kenapa perlu “nembak”?
Kenapa perlu “jadian”?
Kenapa perlu ada tanggal jadian?
Kenapa perlu ada perayaan?
Kenapa ada yang namanya PJ (pajak jadian—well, as stupid as it sounds, it’s real)?
Tuhan makannya apa, ya?
Payudara 36D itu kayak gimana, ya?
Kenapa begini?
Kenapa begitu?
Kenapa perlu “nembak”?
Kenapa perlu “jadian”?
Kenapa perlu ada tanggal jadian?
Kenapa perlu ada perayaan?
Kenapa ada yang namanya PJ (pajak jadian—well, as stupid as it sounds, it’s real)?
Tuhan makannya apa, ya?
Payudara 36D itu kayak gimana, ya?
Kenapa begini?
Kenapa begitu?
Kemudian gue mencoba suatu hal yang unik. Menanggalkan
kebiasaan, mencoba mengenal apa yang mereka sebut dengan “cinta” sekali lagi,
dengan cara gue sendiri.
On the first try,
though, something stand on the way and made me fell into the same shit
routine all over again.
Kemudian, datang kesempatan lainnya. Dengan cara yang unik.
Terlalu unik.
Long story short: I’m
with the most convenient person
I’ve ever met.
Di saat orang-orang
masih terjebak dengan cara lama (dan sepertinya masih belum tahu kenapa mereka
mengikuti cara tersebut), gue memiliki cara gue sendiri.
Di saat orang-orang
masih terjebak masalah klise (dan sebetulnya masalah yang ada ya itu-itu saja),
gue memiliki cara gue sendiri.
Di saat orang-orang masih
terjebak dalam permasalahan istilah (yang—sekali lagi—itu-itu saja), gue
memiliki cara gue sendiri.
Am I bragging? Nah, like Dizzy Dean said
(whoever that is): It ain't bragging if you can do it.
Cinta. Atau itulah
yang gue sebut.
No comments:
Post a Comment