Let's guess who's dead and who's not |
Mengejutkan, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan
film Fast and Furious yang keenam ini. Setelah kecewa dengan si botak Bruce
Willis di A Good Day to Die Hard dan si botak Dwayne “The Rock” Johnson di GI
Joe: Retaliation (karena dua film tersebut berada pada genre yang sama—action),
duo botak Vin Diesel dan Dwayne Johnson di Fast and Furious 6 (Furious 6)
ternyata sangat memuaskan ekpektasi.
Plot: Setelah
perampokan yang berhasil di Rio (Fast 5—yang belum sempet gue tonton), Dominic
Toretto (Vin Diesel) dan kawan-kawan sepermainan berpisah untuk menjalani
hidupnya masing-masing. Di tempat lain, terjadi sebuah serangan pada konvoi
militer Russia. Melihat keahlian perampok, Luke Hobbs (Dwayne Johnson) sebagai
agen DSS (Diplomatic Security Service) meminta bantuan Dom untuk menangkap
tersangka penyerang konvoi tersebut: Owen Shaw (Luke Evans) dan kru. Sebagai
kunci untuk mendapatkan jawaban “Ya” dari Dom, Hobbs membawa foto salah satu
kru Shaw: Letty Ortiz (Michelle Rodriguez), mantan pacar Dom yang dianggap
sudah mati (entah di Fast and Furious keberapa). And you know the rest.
Review: Mengejutkan
dan memuaskan, itulah reaksi gue setelah menonton film ini. Mengejutkan karena
gue gak mengira alur dan aksi yang diberikan akan sangat menarik walau ada beberapa
adegan yang “Errr... what the fuck?”
(that
I’m-gonna-catch-you-on-highway-bridge scene is total WTF by the way).
Memuaskan dalam arti film ini, ya, memuaskan, layaknya ada lubang kosong yang
terpenuhi sehabis menonton film ini dan berjalan keluar studio *ceilah*.
Layaknya film aksi, banyak adegan yang mengundang pertanyaan
(akibat kurang realistis—bahkan untuk bocah seperti gue). Di sisi lain, adegan
tersebut disajikan dengan menarik dan membuat pertanyaan yang ada menjadi
hilang (kecuali adegan menangkap di jembatan jalan bebas hambatan itu. God I think I just can’t let it go).
Adegan mobil lawan mobil (dan bahkan tank—bahkan pesawat
kargo) diperlihatkan secara seru dan menarik walau terkadang berlebihan. Adegan
pertarungan tangan kosong juga menarik untuk diikuti. Drama dan humor yang ada
juga disajikan secara seimbang dan tidak mengganggu aliran film.
Kalau ingin dibicarakan, kekurangan film ini terdapat pada plot-twist yang “Meh” dan kekurang
realistisan beberapa adegan. Agaknya gue sudah bosan dengan
antagonis-yang-mengkadali-sang-protagonis-untuk-akhirnya-kalah-kalah-juga sejak
The Avengers dan Skyfall. Soal realistis atau tidak, memang gue mengerti kalau
ini merupakan dan film dan hukum fisika di dunia nyata tidak berlaku, tetapi
ada satu adegan ini, adegan di jembatan ini, yang rasanya mengolok-olok cara
kerja otak gue... or I’m just getting
old? Shit. Selain itu, perpindahan dari race
movie menjadi action movie
agaknya akan mengecewakan fans yang sudah mengikuti film ini dari awal.
Terakhir, gue masih gak ngerti kenapa ada sisipan dialog berbahasa Indonesia
yang hanya dua kata saja.
Dengan banyaknya pemain, porsi masing-masing tokoh yang ditampilkan cukup
seimbang. Setiap protagonis memiliki waktu dan adegannya tersendiri dengan ciri
khasnya masing-masing. Untuk antagonis, memang ada beberapa yang mudah
dilupakan, tapi gue pribadi terhibur dengan akting Luke Evans (yang entah
kenapa mirip Rio Dewanto) sebagai Shaw dan Joe Taslim yang teramat cocok
memerankan Jah.
Sebagai bentuk nasionalisme (not seriously), paragraf terakhir ini akan gue dedikasikan khusus
untuk Joe Taslim. Berperan sebagai Jah, seorang ahli beladiri dengan ekspresi
wajah yang teramat mengintimidasi, gue cukup kaget dengan banyaknya porsi
adegan yang diberikan sang sutradara (karena sesama orang Asia, mungkin?).
Memang adegan terakhir dia gak terlalu “wah” dan meninggalkan kesan yang kuat,
tapi sebagai orang Indonesia, gue rasa kita perlu memberikan apresiasi lebih
untuk aktor yang sudah go international
ini.
Last but not least,
stay on your seat after the ending because all road may lead to this, but this
is not the end. Whether it’s good or bad.
No comments:
Post a Comment