Saturday, May 12, 2012

Waktu dan Ruang


“Ah, salah lagi.”

Gumamku sambil menutup pintu yang baru terbuka sedikit itu secara perlahan.

Entah sudah berapa lama waktu yang aku habiskan di sini, di suatu lorong hitam, dengan banyak pintu berwarna putih di sebelah kanan dan kiri. Sendirian, dengan pisau putih di saku kanan celanaku.

“Baiklah, kalau begitu, pintu yang selanjutnya.”

Aku berjalan menuju pintu selanjutnya, entah pintu yang keberapa. Kugenggam gagang pintu dengan tangan kananku, kubuka secara perlahan, aku mengintip melalui celah kecil yang kubuat itu. Kurasakan cahaya mentari sore menusuk mataku. Aku gerakkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. Terlihat beberapa orang duduk pada kursi yang berjauhan, semuanya memejamkan mata mereka masing-masing dan terlihat seorang perempuan yang sedang berdiri di dekat sebuah pintu kereta.

“I... itu dia. Akhirnya! Akhirnya!”

Kubuka pintu semakin lebar, kulangkahkan kakiku ke dalam. Dia belum menyadari keberadaanku.

Kuambil pisau yang ada di saku celanaku. Kulangkahkan kaki ini perlahan-lahan menuju dia.

Dan sekarang aku sudah ada dibelakang perempuan ini. Kutarik nafas dalam-dalam, dan kumulai rencana yang sudah kusimpan dari awal aku terjebak di lorong itu.

“Jangan berteriak, atau kubunuh masa lalumu!”

Ucapku sambil menempelkan pisau ini ke lehernya.

“A-aku tidak punya uang untuk diberikan. Tidak ada sepeser pun uang di dompetku. Di sakuku hanya ada uang receh dan tiket kereta. Aku tidak punya barang berharga untuk kau ambil.” Jawabnya lirih.

“Aku tidak mau uangmu.”
“Lalu apa?”
“Aku… ingin membunuh masa lalumu.”

Diam terdiam, tidak menjawab perkataanku.

“Kenapa diam?!” bentakku di telinganya.

“Lalu aku harus bilang apa? Apa aku harus menjawab “Ya” saat kau bilang mau membunuh masa laluku? Hah?” Kali ini dia menjawab. Dapat kurasakan keberanian di balik kata-kata yang dia keluarkan.

Kutarik pisau dari lehernya. Kurasakan sesak di dada. Dan entah mengapa, air keluar dari mataku.

“Apa pun yang terjadi nanti, begitu kau sudah sampai di stasiun kereta berikutnya, jangan coba-coba turun. Lekas pulang, dan lupakan saja kalau kejadian ini sempat terjadi.” Ujarku.

“Kenapa? Itu kan stasiun kereta tujuanku? Apa urusanmu? Tapi aku…”
“Ini bukan perundingan! Ini perintah! Kalau kau tetap nekat turun, bukan hanya masa lalumu yang aku bunuh, tapi aku juga tak akan segan turut mengambil nyawamu.”
 “Bicara ap…”
“Diam!”
“…”
“Bagus, begitu…” Aku menghela nafas, kulanjutkan kata-kataku, “Kuulangi sekali lagi, begitu sampai di stasiun selanjutnya, jangan turun. Teruskan perjalananmu sampai stasiun selanjutnya, lalu segera pulang. Aku tidak mau tahu apa akibatnya nanti jika kau melanggar. Mengerti?”

Dia mengangguk perlahan.

“Bagus…”
“Siapa sebenarnya…”
“Siapa aku itu tidak penting untuk masa sekarang. Aku hanya penting di masa depanmu dan hal yang aku lakukan saat ini adalah untuk memastikan hal itu tetap terjadi.”
Dia mengerutkan alisnya dengan penuh keheranan. Sepertinya dia tidak mengerti dengan semua yang terjadi ini. Dan memang seharusnya begitu.

Perlahan kuturunkan pisau itu dari leher miliknya... menuju dada. Tepat di depan tempat di mana di dalamnya ada jantung yang sedang berdetak.

“Stasiun berikutnya , masa depan. Pintu yang akan dibuka pintu sebelah kiri. Pintu yanag akan dibuka pintu sebelah kiri.”
“Hah? Stasiun apa? Masa depan?” ujarnya keheranan.

Langsung kutancapkan pisau ini kedalam dadanya, mengoyak bagian dalamnya hingga berantakan.

Dia berteriak kesakitan sambil meronta. Tetapi aku masih bisa menahannya. Kutancapkan pisau ini semakin dalam. Perlahan-lahan perlawanan yang dia buat semakin melemah, sampai akhirnya dia kehabisan tenaga.

Melihat kesadarannya yang semakin menghilang, aku mendekatkan wajahku ke telinganya.

"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, maafkan aku harus melakukan hal seperti ini kepadamu." Bisikku.

Dia berusaha menoleh untuk melihat wajahku. Kemudian ia meraih jemariku, merasakan sebuah besi dingin berinisal namanya yang ada di jariku, sambil berusaha menjauhkan tanganku dari tubuhnya. Tetapi gagal.

Rencanaku sudah selesai. Kembali aku ke lorong hitam itu, menutup pintu, dan meninggalkan tubuhnya yang sudah ditelan oleh kesadaran.

Aku menghela nafas, rasanya sangat melelahkan sekali. Tetapi pada akhirnya, aku menang, atau setidaknya, merasa senang.

Tiba-tiba seluruh pintu yang ada di samping kiri dan kananku menghilang, membuat lorong ini menjadi hitam pekat.

Dalam panik, aku melangkahkan kakiku. Dalam langkah pertama, pijakan yang kuinjak runtuh, pecah, seperti kaca tipis yang tidak bisa menahan bobot beban yang ada di atasnya.

Aku terjatuh. Ke dalam kegelapan.

Kurasakan gravitasi menarikku dengan sangat kencang. Menuju ke sebuah pintu. Pintu putih yang sendirian di dalam kegelapan ini. Dengan sigap, kuarahkan tubuhku ke arah pintu itu.

Dengan kecepatan tinggi aku menabrakkan tubuhku ke pintu tersebut, dan semuanya berubah menjadi putih.



***


Warna putih yang memenuhi penglihatanku perlahan pudar. Membentuk sebuah gambar. Sebuah tempat yang sangat kukenal.

Aku mengarahkan pandanganku keseluruh arah. Gedung ini, seragam ini, tas ini...

“Tunggu, i... ini tidak mungkin.”

Kemudian aku melihat dia. Memakai seragam putih abu-abu sekolah yang sama dengan yang kupakai.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku berlari ke arahnya.

“Hei! Hei tunggu!”

No comments:

Post a Comment