Sunday, April 29, 2012

My Very First... Happy Tree Friends


Ada yang belum tau apa itu Happy Tree Friends? Secara singkat, Happy Tree Friends adalah animasi internet (walaupun pernah beberapa kali muncul di Tv) dengan tokoh utama berbagai makhluk yang lucu dan imut, tapi daya tarik utamanya adalah kekerasannya yang sangat berlebihan.

Kepala putus, kulit sobek, organ tubuh keluar, darah, darah, dan darah adalah tema dan inti dari kartun ini. Kartun yang biasanya dimulai dengan keadaan tentram dan damai, dalam beberapa menit atau terkadang detik, dapat berubah menjadi sebuah kekacauan berdarah yang sangat lucu untuk dinikmati.

Oke, cukup penjelasan tentang apa itu Happy Tree Friends. Sekarang, gue mau cerita kapan pertama kalinya gue kenal dengan animasi luar biasa ini.

Kalau gue tidak salah, pertama kali gue kenal Happy Tree Friends adalah saat gue masih di SD, saat MTV masih ada di salah satu Tv swasta, tidak seperti sekarang yang... ah, sudah, lupakan.

Kira-kira kejadiannya jam 10 malam, dan waktu itu gue belum tidur, entah apa alasannya, kemungkinan besar karena waktu itu hari Jumat dan Sabtunya libur, jadi gue bisa tidur malem-malem.

Saat sedang nonton beberapa video musik, ada jeda iklan, dan akhirnya satu kartun yang belum pernah gue lihat sebelumnya muncul. Waktu itu gue sangat penasaran, “Kenapa ada kartun di MTV? Hmmmmm...”



Setelah menyaksikan itu, gue masih ketawa-tawa walaupun videonya udah selesai.
Buat gue semua kejadian yang ada di situ lucu, sadis tapi entah kenapa buat gue lucu. Sangat lucu.

Sejak saat itu, gue sangat suka dengan yang namanya Happy Tree Friends, dan beberapa tahun kemudian mulai mendownload videonya dari YouTube satu persatu dengan sabar.

Sesekali gue mengajak orang lain untuk nonton Happy Tree Friends, walaupun kebanyakan dari mereka selalu menolak.

Cih.

Thursday, April 26, 2012

National Exam: The Aftermath

Tujuh hari setelah Ujian Nasional atau gue lebih suka menyebutnya sebagai “Pesta Kunci Nasional”.

Hilang satu rutinitas, muncul rutinitas baru.

Walaupun sudah tidak harus berangkat ke sekolah lagi, gue masih harus bangun pagi seperti biasa dan berangkat pagi seperti biasa. Kenapa? Karena aku sayang kamu  untuk menyiapkan diri gue dalam menghadapi tantangan yang selanjutnya, yaitu SNMPTN.

Walaupun sama-sama menuntut gue untuk bangun pagi dan mandi di pagi hari, tapi rutinitas yang ini terasa berbeda. Kenapa? Karena aku sayang kamu  mungkin gue sudah tidak dituntut lagi untuk selalu tepat waktu. Mungkin karena gue bebas memakai pakaian apa saja yang gue inginkan. Mungkin karena tidak ada lagi yang mengomentari gue harus merapikan rambut gue. Mungkin karena waktu yang belajarnya hanya 2,5 jam.

Entahlah.

Dalam sebulan ini, gue (berniat serius) menyiapkan diri. Tapi di sela-sela itu, gue masih (ingin) bisa bersenang-senang, masih bisa bertemu dengan teman-teman, masih bisa bertemu dengan orang yang disayang, dan masih bisa melakukan berbagai macam hal yang masih gue inginkan.

Dalam sebulan ini juga gue (berniat untuk) lebih rajin olahraga. Selain agar lebih merasa sehat, siapa tau tinggi gue bisa bertambah.

Karena gue paling males dengan yang namanya merencanakan sesuatu, lebih baik gue jalani sebulan ini dengan cara yang gue suka (tapi bertanggungjawab, pastinya) dan liat nanti ke depannya akan seperti apa.



Bagaimana dengan kalian?


Saturday, April 21, 2012

See You Later, Space Cowboys

From left to right: ... Well, fill it yourself

Kita bermain tebak-tebakan, yuk.

Kira-kira butuh berapa tahun hingga kita bisa berfoto seperti di foto ini lagi?

Tiga tahun? Lima tahun? atau mungkin lebih lama lagi?

Untuk sekarang, jawabannya cukup disimpan di suatu tempat di dalam diri.

Simpan, hingga nanti kita berkumpul kembali.




See you later, space cowboys...


In The Middle of Our Journey

Sebetulnya, kita ini mau kemana?
Entahlah. Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu.

Kalau begitu, untuk apa kita berjalan seperti ini?
Aku juga tidak tahu itu. Sudahlah, kita cukup berjalan, tidak sulit, kan?

Iya... tapi, memangnya kamu tidak penasaran dengan semua ini..?
Penasaran? Tentu saja, tapi aku memilih untuk tidak memikirkannya, karena sudah ada kamu, yang bisa menemani aku melihat pemandangan selama perjalanan ini, entah itu indah atau buruk.

...
Kenapa..?

Karena ada... aku?
Iya.

Lalu, bagaimana kalau aku kelelahan?
Kita bisa beristirahat, menunggu keadaan kamu pulih kembali, lalu melanjutkan perjalanan ini bersama sama lagi.

Kalau aku tetap berjalan walau kelelahan?
Aku akan memaksamu untuk berhenti, agar bisa bersitirahat.

Kalau aku masih bersikeras untuk berjalan?
Kalau sudah begitu, aku akan membiarkan kamu tetap berjalan. Hingga kamu kelelahan dan menyerah dengan sendirinya, dan saat itu, kita bisa beristirahat.

Hahaha...
Apa? Kenapa tertawa..?

Tidak, bukan apa apa...
...

Ah, bagaimana kalau tiba-tiba aku menghilang?
Aku akan mencarimu, mungkin...

Mungkin?
Entahlah...
Kamu sendiri, untuk apa menghilang?

Tidak tahu. Tapikan mungkin saja siapa tahu tiba-tiba bisa terjadi, entah itu aku inginkan atau tidak.
Ya... kau benar juga.

Kalau sudah seperti itu, apa yang akan kau lakukan?
Mungkin aku akan berusaha... sampai kau menemukan aku, atau aku menemukanmu, atau dunia ini selesai, tergantung yang mana yang akan terjadi lebih dahulu.

Kenapa selalu dengan kata “mungkin”..?
Karena aku- atau kita lebih tepatnya, belum tahu apa yang akan terjadi, bukan?

Ya... memang begitu...
...

Satu pertanyaan terakhir...
Ya, apa..?

Bagaimana kalau aku... menghilang dengan jelas?
Dengan jelas?

Ya... kau tau... saat kamu melihat aku hilang tepat di depan matamu, dengan jelas kamu tahu kalau aku sudah tidak akan kembali lagi, begitu...
Hooohh... jadi, maksudmu... ma-

Jangan, kau tidak perlu menyebutnya, cukup jawab pertanyaanku.
Heh, baiklah.
...
Entahlah, mungkin akan diam sejenak, dan kembali berjalan tanpa tahu apa yang ada di depan.

“Mungkin”. Hahaha...
Kenapa memangnya?

Haha, tidak, sudah kita lanjut berjalan saja lagi, seperti yang kau bilang, sambil menikmati pemandangan yang ada...
Yasudah, ayo...


Thursday, April 19, 2012

Hujan dan Perpisahan


Hujan.

Udara terasa begitu dingin.

Aku berteduh di bawah pohon, beberapa tetesan hujan masih mampu menembus dahan dan ranting yang lebat ini.

Aku raih korek api dari saku kanan celana jeansku. Kugesek pemantik itu beberapa kali hingga api menyala, kemudian aku dekatkan ke sebatang rokok yang sudah terjepit diantara dua bibirku sejak tadi.

Kuhisap dalam-dalam, dan kubiarkan asapnya keluar secara perlahan dari mulutku.

Di seberang jalan tampak orang mengerumuni sebuah mobil yang rusak parah karena menabrak pohon.

Kuperhatikan mereka satu persatu.

Ada yang mengeluarkan telepon genggam mereka untuk merekam atau mengambil gambar. Ada yang menutup mata tidak tega melihat apa yang tejadi dengan orang yang ada di dalam mobil itu. Ada yang hanya diam, mungkin karena terlalu kaget dengan apa yang mereka lihat.

Beberapa orang terlihat berusaha mengeluarkan pengemudi dan penumpang yang berada di bangku depan.

Seorang perempuan berhasil dikeluarkan dari kursi penumpang. Tubuhnya terlihat lemas, mungkin karena shock atas apa yang terjadi dengan dia. Dari keningnya darah mengalir, tetapi langsung ditutup dengan handuk oleh salah seseorang yang ada di situ.

Selanjutnya seorang pemuda dikeluarkan dari kursi pengemudi. Tubuhnya yang dipenuhi darah, yang juga berasal dari keningnya secara perlahan dipindahkan oleh orang-orang. Berbeda dengan si perempuan itu, dia tidak bergerak. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia masih hidup.

Pemuda itu lalu diletakkan di dekat sang perempuan.

Perempuan itu mendekati tubuh sang pemuda. Digenggamnya kedua pundak lelaki itu, lalu digoncangkan dengan keras tubuhnya.

Dia mati. Pemuda itu sudah mati.

Perempuan itu berteriak. Mengeluarkan air dari kedua matanya.

Orang orang di sekitarnya berusaha menenangkan perempuan itu. Tetapi, percuma, dia meronta, dia melawan, dia memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu erat erat.

“Masih belum?”

Tiba-tiba suara itu mengagetkan aku. Aku menengok ke arah kanan. Terlihat seorang bapak tua, dengan pakaian serba putih berdiri di sampingku. Entah kapan dia datang, perhatianku tertuju pada kecelakaan yang ada di depan aku.

“Ah, sebentar lagi, ada satu hal yang harus kuselesaikan.”  Aku terdiam sejenak. “Aku tidak tahu mereka membolehkan orang lain untuk menjemput.” ucapku kepada bapak itu.

“Ini permintaanku” jawabnya.

Aku terdiam. Kumatikan rokok yang tinggal sedikit itu. Kemudian aku berjalan, menyeberangi jalan, mendekati tubuh pemuda itu.

Kuperhatikan tubuh itu. Tidak bergerak, penuh darah. Kemudian... aku masuk ke dalam tubuh itu.

Ya, aku kembali ke dalam tubuh aku sendiri.

Semua menjadi hitam. Aku rasakan sakit. Tiap tulang yang bergeser, darah di permukaan kulit, rasa ngilu, semuanya aku rasakan secara sekaligus.

Aku sangat ingin berteriak. Tetapi tidak bisa. Sudah tidak bisa dengan tubuh ini.

Hitam yang ada perlahan lahan berubah menjadi suatu gambar buram. Aku mendapat penglihatan aku kembali, walau sedikit. Sangat sedikit.

Kugerakkan kepala agar aku bisa melihat perempuan itu, terasa ngilu yang sangat hebat walau aku menggerakkannya secara perlahan.

“Lihat! Dia masih hidup!” teriak salah seorang yang ada di situ.

Mendengar kata-kata itu sang perempuan mendekatkan tubuhnya mendekati tubuhku.

Pengliahatanku sangat buram. Tapi aku tahu dia ada di depanku.

Kugerakkan lengan kananku secara perlahan mendekati pipinya.

“Maaf” aku mengucapkan itu kuat-kuat, tetapi tidak keluar melalui mulutku.

“Maaf” sekali lagi aku berusaha mengucapkan kata itu.

“Iya” jawab perempuan itu.

Entah berapa kali aku berusaha mengatakannya. Entah berapa kata yang benar-benar terucap.
Perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Menyentuhkan bibirnya ke bibirku.

Dan semua kembali gelap.

“Jika saja kita tidak berargumen. Jika saja kita dapat menghilangkan rasa kesal dengan senyuman. Jika saja kita dapat memilih waktu dan tempat yang tepat. Jika saja kita tidak perlu bertengkar. Jika saja...”

“Sudah?”

Suara itu memecah kegelapan. Aku membuka mataku. Aku sudah kembali berdiri di bawah bohon itu kembali.

“Iya...” jawabku.

“Sudah tidak ada lagi yang perlu di selesaikan. Ayo kita pergi, Ayah...”

“Entah kapan terakhir kali kamu memanggil aku seperti itu.” jawab ayahku disertai tawanya.

Dan kami pun menghilang, bersama hujan yang digantikan dengan sinar matahari.


Bagaimana Jika Aku...


... terlempar ke masa lalu, entah bagaimana caranya.

 Tepatnya terlempar ke 2 tahun yang lalu.

 Lebih tepatnya lagi terlempar ke saat aku baru pertama kali menjejakkan kaki di sekolah itu, saat dimana kita berdua sama sekali belum saling mengenal. Dengan ingatan aku yang ada sekarang, ingatan aku tentang kamu yang sekarang, dan ingatan aku tentang kita, turut terbawa.

Jika aku langsung mencarimu, dan saat aku menemukanmu, aku langsung menggenggam tanganmu, akankah kamu membalas genggamanku? Atau kau malah akan menarik tanganmu, berusaha menghindari aku yang sama sekali belum kamu kenal?

Jika aku menceritakan bahwa dulu di masa depan aku dan kamu menjadi kita, akankah kamu percaya? Akankah kamu memberi kesempatan untuk aku dan kamu menjadi kita seperti kita dulu di masa depan?

Jika aku merusak serangkaian peristiwa dulu sehingga kita dapat bertemu tanpa perlu mengenal yang lain terlebih dahulu, akankah kita menjadi kita yang sama?

Akankah kita bisa saling bertukar rasa sayang dan nyaman..?

Akankah kita bisa saling bertukar kata sayang..?

Akankah kita bisa saling sayang..?

Akankah aku bisa mengatakan “Aku sayang kamu” dan kamu menjawabnya dengan “Aku juga sayang kamu” seperti sekarang ini..?



...



Jika itu benar terjadi mungkin aku akan menunggu, mengulangi serangkaian peristiwa dulu hingga akhirnya tiba waktunya aku bisa melingkarkan lenganmu di tubuhmu itu... lagi.