Orang-orang menyebutnya MOS, Ospek, PAB, LDK, perploncoan,
dan lain sebagainya, tetapi dari 4 pengalaman gue (yang mungkin masih sedikit
dibandingkan orang lain) dengan “tradisi” yang satu ini, gue udah bisa
menyimpulkan kalau hal ini tidak lebih dari sebuah bullying yang dilegalkan.
Mungkin orang-orang yang senang saat kerah bajunya
dicengkram merasa tidak setuju dengan pendapat gue, but hey, everyone could have their own opinion, no?
Di postingan ini gue akan bercerita (dengan ingatan yang
mulai pudar) tentang pertama kalinya gue mengenal legal bullying. Karena gue
gak tau mau nulis apa lagi di paragraf pembuka ini, mari kita langsung saja
mulai.
It Starts With Excitement
Pertama kalinya gue mengenal legal bullying adalah kelas X (sepuluh), semester satu, melalui PAB
(Penerimaan Anggota Baru) yang dilaksanakan oleh ekskur KIR (Kelompok Ilmiah
Remaja) di SMA. Pada waktu itu, beberapa minggu setelah para murid mendaftarkan
diri ke ekskur-ekskur pilihan mereka, murid-murid tersebut dikumpulkan sesuai
ekskur mereka dalam satu kelas untuk diberikan informasi apa saja yang perlu
dibawa. Gue (dan beberapa orang teman) yang pada saat itu masih polos (dalam
dunia legal bullying), sangat
tertarik untuk mengikuti acara ini.
Kenapa gue tertarik? Karena gue adalah anggota baru dalam
ekskur KIR, dan dengan memasang nama PAB (Penerimaan Anggota Baru) maka gue
merasa diterima di dalam ekskur ini. Selain itu, pemberian informasi apa saja
barang yang dibawa dalam bentuk teka-teki membuat gue semakin tertarik dengan
acara ini.
No bad feeling. At
all.
Then We Left to The Unknown
Hari H PAB (gue lupa kapan tepatnya). Dengan membawa name-tag yang sudah dipersiapkan dari
rumah dan segala barang bawaan lainnya, rombongan anggota baru KIR berangkat
menuju tempat pelaksanaan acara. Menggunakan dua truk tronton (yang membuat gue
semakin tertarik dengan acara ini) dengan perjalanan yang agak lama, kami
sampai di tanah perjanjian (puncak, kalau tidak salah) pada sore hari (kalau
tidak salah).
Setelah menyerahkan beberapa barang yang perlu dibawa, kami
diantarkan ke sebuah rumah tempat kami tidur nanti.
Di sini gue melihat adanya kakak alumni, kakak kelas, dan
kakaknya kakak kelas.
And Then God Said: “Fuck You”
Gue lupa urutan acaranya seperti apa, tapi gue inget
sebelumnya kami (para anggota) baru dikumpulkan di suatu lapangan untuk menyaksikan
presentasi menggunakan laptop dan projector
yang dibawakan oleh seorang kakak (alumni?) yang berisi motivasi dan hal-hal
lain. Kemudian sesi makan malam yang sangat ketat yang dihiasi dengan kata-kata
“habiskan makanannya”, “sendoknya yang datengin
mulut”, “piringnya taro di lantai”,
dan entah apa lagi.
Kemudian sesi utama, sesi yang membuat gue mengubah cara
pandang gue terhadap semuanya. Kami yang pada itu sedang tidur dibangunkan
pagi-pagi buta, untuk dikumpulkan dan dibagi dalam beberapa kelompok dengan
masing-masing kelompok memiliki apa yang panitia sebut “kakak pembimbing”.
Kemudian kami diperintahkan untuk mendatangi beberapa pos dimana tiap pos
memiliki karakteristiknya masing-masing.
Ada pos yang berisi kakak-kakak perempuan baik yang
menanyakan tentang agama dan pendapat kita dengan cara yang bersahabat. Ada pos
yang menanyakan seluk beluk tentang arti lambang KIR dimana kelompok gue gak
bisa menjawabnya. Ada pos yang untuk menuju ke sana, kami perlu menaiki banyak
anak tangga dan saat sudah sampai kami dianggap telat dengan perhitungan waktu
yang tidak jelas adanya kemudian diteriaki dan diberikan tekanan kemudian
name-tag kami diambil untuk diinjak-injak untuk diambil lagi dan diberikan
ceramah tentang bagaimana “name-tag
adalah nyawa (?) kalian di sini”.
Dan ada pos terakhir. Pos yang paling “spesial”. Pos yang
diisi oleh kakak-kakak alumni. Pos di mana semua tekanan diberikan di situ. Di
mana keterangan-keterangan di name-tag diejek. Di mana keterangan “Karena
tertarik dengan dunia komputer” untuk kolom “Alasan masuk KIR” akan diberikan
tanggapan cerdas seperti “Kalo gitu pacaran aja sama komputer”. Di mana beberapa
dari kami disuruh untuk menembak (suatu kegiatan menyatakan cinta) ke salah
satu kakak alumni atau ke pohon sebagai
bahan candaan (yang entah apa tujuannya).
Untuk pos terakhir ini, kelompok gue dapat dikatakan beruntung
karena kakak pembimbing yang tiba-tiba entah kemana, dan akhirnya kelompok gue
disuruh mencari dia sehingga terbebas dari siksaan di pos terakhir ini.
Kemudian setelah banyak teriakan dan ejekan, seluruh
kelompok dikumpulkan di lapangan tempat kami memulai. Dan di sini drama
dimulai. Alumni dan kakaknya kakak kelas meng-mindfuck para anggota baru dengan
menghukum kakak kelas. Kakak kelas berinisiatif push-up sebagai suatu hukuman, para anggota baru ditanya kenapa
tidak ikutan, saat kita ikut push-up
kakak kelasnya melarang. Teriak sana-sini, chaos,
untuk akhirnya dijelaskan tentang apa itu kekeluargaan.
Seriously?
Home Sweet Home
Setelah pagi buta yang panjang, kami (para anggota baru)
kembali ke rumah yang disediakan untuk beristirahat. Ada yang mandi, tidur, dan
lain-lain.
Dari sini, sudah tidak ada alumni yang terlihat.
Kemudian pagi harinya kami berolahraga, melakukan beberapa
permainan kecil, dan sarapan (tanpa tekanan) kemudian merapikan barang bawaan
untuk selanjutnya berbaris di suatu lapangan. Melakukan seremoni kecil-kecilan
yang gue lupa apa tujuannya.
Akhirnya kami ke tronton dan kembali ke sekolah untuk pulang
ke rumah masing-masing.
Di tengah perjalanan gue mengingat ada seorang kakak kelas
perempuan yang meminta maaf karena sudah berperilaku yang tidak seperti dia
yang biasanya.
I Made My Own Conclusion
Lalu, apa saja yang gue dapat dari PAB KIR waktu itu?
Entahlah, sampai sekarang gue belum mengerti apa yang gue
dapat dari acara tersebut.
Rasa lelah? Iya. Rasa diterima? Tentu tidak.
Lalu, semua itu untuk apa?
Walaupun begitu, gue tetap berada di KIR hingga lulus SMA.
Bukan, bukan karena gue merasa diterima. Tapi simply karena gue mendapatkan
sekelompok teman yang menyenangkan.
Iya, teman.
But it still left a
bad taste in my mouth.
p.s. kalau lo berpikir gue bisa mendapatkan teman adalah
tujuan maupun efek dari tidak langsung dari PAB ini, maka gue akan merasa geli
dengan pendapat lo. Puh-lease, gue bukan masokis yang butuh mendapatkan teman dengan cara
di-bully terlebih dahulu.
siapa tuh kakak kelasnya? :D
ReplyDeletenice writing, rits (y)
ditunggu tulisan2 yg critical & "be-yourself" banget gini...
Ah, ada Kak Dika gak, sih? Yang ngasih presentasi itu, ya? Ingatan saya kurang bagus nih... (.-. )
DeleteBtw, thank you kakak...
PAB selain kir (ahem xbass) juga sama aja kacrutnya. dan bener bener gak ngerti apa maksud acaranya. bahkan guru yang ikut dateng buat ngawasin nganggep semua hal itu normal. menegakkan senioritas supaya adik kelasnya respect? kayaknya malah sebaliknya deh.
ReplyDeletenngg mestinya ikut pab rohis aja rits wkwk kaga ada cerita tuh yg kyk gitu"
ReplyDeleteNyeh, tapi gue maunya KIR, dan ternyata (waktu itu) ekspektasi gue terlalu tinggi... atau panitia yang salah menggunakan istilah? Hmmm...
DeleteMungkin semacam tradisi yg saat itu dianggap perlu buat ngebentuk kader-kader yg bagus kali ya.
ReplyDeleteSetelah jadi mahasiswi gue baru nyadar, kenapa gue nggak tanya esensi dari kegiatan semacam itu. Mungkin lo berpikiran sama kayak gue?
Harusnya panitia ngasih penjelasan. Tapi karena mereka yang kurang setuju dengan "tradisi" berjumlah sedikit, panitia merasa gak ada yang salah jadinya mereka merasa gak perlu memberikan penjelasan.
Delete