Friday, March 15, 2013

Me and Legal Bullying: The Second Position



Orang-orang menyebutnya MOS, Ospek, PAB, LDK, perploncoan, dan lain sebagainya, tetapi dari empat pengalaman gue (yang mungkin masih sedikit dibandingkan orang lain) dengan “tradisi” yang satu ini, gue udah bisa menyimpulkan kalau hal ini tidak lebih dari sebuah bullying yang dilegalkan.

Mungkin orang-orang yang senang saat kerah bajunya dicengkram merasa tidak setuju dengan pendapat gue, but hey, everyone could have their own opinion, no?

Di postingan kali ini gue akan bercerita (dengan ingatan yang mulai pudar) tentang pengalaman kedua gue di dalam legal bullying. Kali ini gue akan bercerita tentang bagaimana rasanya saat yang diteriakkan menjadi yang berteriak.


You Either Die A Hero...

 


Kelompok Ilmiah Remaja SMAN 54. Ekskur yang gue pilih. Walaupun PAB-nya hanya meninggalkan rasa pahit di lidah, gue tetap mengikuti ekskur ini. Hanya karena gue punya teman-teman yang menyenangkan dan gue ingin tahu apa rasanya berorganisasi.

Dan akhirnya hari yang gue tau akan ada, tiba. Hari di mana anggota KIR angkatan gue menjadi panitia PAB.

PAB kali ini dilaksanakan di bumi perkemahan Cibubur bersamaan dengan pelaksanaan PAB ekskur-ekskur lain. Setelah mengumpulkan anggota baru di satu tempat dan merapikan barang-barang panitia di lain tempat, rangkaian acara tertunda karena hujan yang turun terlalu deras.

Setelah hujan reda, acara dimulai, gue dan beberapa teman menyiapkan pos-pos yang akan didatangi. Setelah semuanya beres, anggota baru dikumpulkan di lapangan untuk briefing.

Di kumpulan ini gue bisa melihat adanya anggota baru, panitia (gue dan kawan-kawan sepermainan), kakak kelas, dan kemudian ada sekelompok alumni yang sama saat PAB terdahulu yang menginjak-injak name-tag dan menyuruh cium pohon.

I smell trouble.

...Or You Live Long Enough...

 


Tugas gue simpel, mengantar satu per satu kelompok ke sekian pos yang ada, memperhatikan keadaan di beberapa pos, dan menjadi petugas di satu pos.

Untuk yang terakhir, gue merasa geli dengan diri gue sendiri.

Jadi di satu pos, gue menjadi kakak-kakak yang menanyakan pertanyaan di pos tersebut. Gue dan seorang teman gue berakting menjadi kakak-kakak sombong dengan komentar mengejek (yang terkadang lebih ke meremehkan) ke setiap jawaban yang diberikan oleh anggota baru yang datang ke pos tersebut.

Di sini gue bertanya ke diri gue sendiri: Kenapa kita (panitia) harus berakting sombong? Kenapa gak mengajarkan mereka dengan ramah?

Kemudian setelah beberapa jam berlalu, masuk ke sesi terakhir, sesi yang menurut gue paling fucked-up.

...To See Yourself Become The Villain

 


Anggota baru dikumpulkan di sebuah tempat. Kakak-kakak alumni mem-briefing panitia PAB untuk berakting dimana satu panitia “memarahi” satu anggota baru. Sebelum adegan marah-marah dimulai, mereka mengingatkan untuk tidak menunjuk-nunjuk wajah anggota baru karena hal tersebut tidak sopan.

Oh, the irony...

Kemudian sesi terakhir dimulai. Gue mencari satu anak baru untuk gue marah-marahi. Setelah ditemukan, gue mencoba berakting. Berhasil? Tentu saja tidak. Gue gak tau apa yang harus gue lakukan, gue gak tau bagaimana caranya mencari-cari kesalahan seseorang. Lagipula kalaupun kesalahan itu ada, kenapa harus dibesar-besarkan?

I’m not good at lying yet I’m standing like an idiot who wanted to show-off in front of the new kid. I felt stupid and felt like I’m in the lowest point of my life.

Dengan terbata-bata gue mencari-cari kesalahan. Salah menulis nama pembina KIR di name-tag misalnya. Gue sok-sokan galak padahal di dalam otak gue berpikir ada alasan kenapa mereka disebut “anggota baru”.

Five minutes felt like five years and no, I’m not over-exaggerating it.

Sesi selesai, gue lelah secara mental.

Gue hanya bersyukur acara ini selesai dan bingung bagaimana yang lain—terutama kakak-kakak alumni—bisa berakting seperti itu.

...atau yang mereka lakukan bukanlah akting

Finished? Not Yet

 


Kontribusi gue yang terakhir dalam legal bullying di SMA gue adalah menjadi panitia LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) KIR.

Latihan. Dasar. Kepemimpinan. Yet, it’s still the same shit just with the different title. Masih dengan pos-ke-pos, masih dengan kakak alumni yang berteriak-teriak (what the fuck is wrong with them, anyway?) dan masih dengan sesi terakhir yang fucked-up.

Tapi setidaknya gue berada di pos yang “gue banget”. Gue hanya perlu memberikan pertanyaan yang memutar logika ke anggota KIR.  Iya, hanya seperti itu.

But a bitter taste is still a bitter taste afterall.

And The Conclusion Is...

 


Pengalaman baru, pertanyaan baru.

Hal yang paling membingungkan untuk gue yang beru mencicipi apa rasanya menjadi panitia PAB (dan LDKKIR) adalah: Kenapa harus berakting?

Kenapa harus dengan berteriak?

Kenapa kesalahan yang ada gak diproses dengan ramah dan bersahabat?

Ada alasan kenapa mereka disebut “anggota baru”, tidak lain dan tidak bukan karena mereka baru masuk. Kalau berharap orang yang baru masuk ke daerah baru langsung bisa mengerti tetek-bengek dari kecil hingga besar di daerah tersebut, siapa yang bodoh?

Terlalu memanjakan? Memberi pertolongan kecil dianggap “terlalu memanjakan?












p.s. untuk kedepannya, gue hanya ingin KIR SMAN 54 mengubah cara PAB mereka karena terakhir yang gue dengar/baca, masih ada yang menyuruh anggota baru untuk mencium pohon dan mereka bangga telah menyuruh anggota baru melakukan hal tersebut.

p.p.s untuk gue sendiri, talking is a lot easier than taking an action. Mungkin kedepannya gue akan membantu dengan memberi masukan langsung ke pengurus KIR nanti suatu waktu. Bukan mencari alasan, but being a college student is hard as fuck.

1 comment:

  1. whoa.... gimana kalo ekstrakurikuler yang anu dan itu kak ;)

    ReplyDelete