Orang-orang menyebutnya MOS, Ospek, PAB, LDK, perploncoan,
dan lain sebagainya, tetapi dari empat pengalaman gue (yang mungkin masih
sedikit dibandingkan orang lain) dengan “tradisi” yang satu ini, gue udah bisa
menyimpulkan kalau hal ini tidak lebih dari sebuah bullying yang dilegalkan.
Mungkin orang-orang yang senang saat kerah bajunya
dicengkram merasa tidak setuju dengan pendapat gue, but hey, everyone could have their own opinion, no?
Di postingan kali ini gue akan bercerita (dengan ingatan
yang mulai pudar) tentang pengalaman kedua gue di dalam legal bullying. Kali
ini gue akan bercerita tentang bagaimana rasanya saat yang diteriakkan menjadi
yang berteriak.
You Either Die A Hero...
Kelompok Ilmiah Remaja SMAN 54. Ekskur yang gue pilih.
Walaupun PAB-nya hanya meninggalkan rasa pahit di lidah, gue tetap mengikuti
ekskur ini. Hanya karena gue punya teman-teman yang menyenangkan dan gue ingin
tahu apa rasanya berorganisasi.
Dan akhirnya hari yang gue tau akan ada, tiba. Hari di mana
anggota KIR angkatan gue menjadi panitia PAB.
PAB kali ini dilaksanakan di bumi perkemahan Cibubur
bersamaan dengan pelaksanaan PAB ekskur-ekskur lain. Setelah mengumpulkan
anggota baru di satu tempat dan merapikan barang-barang panitia di lain tempat,
rangkaian acara tertunda karena hujan yang turun terlalu deras.
Setelah hujan reda, acara dimulai, gue dan beberapa teman menyiapkan
pos-pos yang akan didatangi. Setelah semuanya beres, anggota baru dikumpulkan
di lapangan untuk briefing.
Di kumpulan ini gue bisa melihat adanya anggota baru,
panitia (gue dan kawan-kawan sepermainan), kakak kelas, dan kemudian ada sekelompok
alumni yang sama saat PAB terdahulu yang menginjak-injak name-tag dan menyuruh
cium pohon.
I smell trouble.
...Or You Live Long Enough...
Tugas gue simpel, mengantar satu per satu kelompok ke sekian
pos yang ada, memperhatikan keadaan di beberapa pos, dan menjadi petugas di
satu pos.
Untuk yang terakhir, gue merasa geli dengan diri gue
sendiri.
Jadi di satu pos, gue menjadi kakak-kakak yang menanyakan
pertanyaan di pos tersebut. Gue dan seorang teman gue berakting menjadi
kakak-kakak sombong dengan komentar mengejek (yang terkadang lebih ke
meremehkan) ke setiap jawaban yang diberikan oleh anggota baru yang datang ke
pos tersebut.
Di sini gue bertanya ke diri gue sendiri: Kenapa kita
(panitia) harus berakting sombong? Kenapa gak mengajarkan mereka dengan ramah?
Kemudian setelah beberapa jam berlalu, masuk ke sesi
terakhir, sesi yang menurut gue paling fucked-up.
...To See Yourself Become The Villain
Anggota baru dikumpulkan di sebuah tempat. Kakak-kakak
alumni mem-briefing panitia PAB untuk berakting dimana satu panitia “memarahi”
satu anggota baru. Sebelum adegan marah-marah dimulai, mereka mengingatkan
untuk tidak menunjuk-nunjuk wajah anggota baru karena hal tersebut tidak sopan.
Oh, the irony...
Kemudian sesi terakhir dimulai. Gue mencari satu anak baru
untuk gue marah-marahi. Setelah ditemukan, gue mencoba berakting. Berhasil?
Tentu saja tidak. Gue gak tau apa yang harus gue lakukan, gue gak tau bagaimana
caranya mencari-cari kesalahan seseorang. Lagipula kalaupun kesalahan itu ada,
kenapa harus dibesar-besarkan?
I’m not good at lying yet I’m standing like an idiot who
wanted to show-off in front of the new kid. I felt stupid and felt like I’m in
the lowest point of my life.
Dengan terbata-bata gue mencari-cari kesalahan. Salah
menulis nama pembina KIR di name-tag misalnya. Gue sok-sokan galak padahal di
dalam otak gue berpikir ada alasan kenapa mereka disebut “anggota baru”.
Five minutes felt like five years and no, I’m not
over-exaggerating it.
Sesi selesai, gue lelah secara mental.
Gue hanya bersyukur acara ini selesai dan bingung bagaimana
yang lain—terutama kakak-kakak alumni—bisa berakting seperti itu.
...atau yang mereka lakukan bukanlah akting?
Finished? Not Yet
Kontribusi gue yang terakhir dalam legal bullying di SMA gue
adalah menjadi panitia LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) KIR.
Latihan. Dasar. Kepemimpinan. Yet, it’s still the same shit
just with the different title. Masih dengan pos-ke-pos, masih dengan kakak
alumni yang berteriak-teriak (what the fuck is wrong with them, anyway?) dan
masih dengan sesi terakhir yang fucked-up.
Tapi setidaknya gue berada di pos yang “gue banget”. Gue
hanya perlu memberikan pertanyaan yang memutar logika ke anggota KIR. Iya, hanya seperti itu.
But a bitter taste is still a bitter taste afterall.
And The Conclusion Is...
Pengalaman baru, pertanyaan baru.
Hal yang paling membingungkan untuk gue yang beru mencicipi
apa rasanya menjadi panitia PAB (dan LDKKIR) adalah: Kenapa harus berakting?
Kenapa harus dengan berteriak?
Kenapa kesalahan yang ada gak diproses dengan ramah dan
bersahabat?
Ada alasan kenapa mereka disebut “anggota baru”, tidak lain dan
tidak bukan karena mereka baru masuk. Kalau berharap orang yang baru masuk ke
daerah baru langsung bisa mengerti tetek-bengek dari kecil hingga besar di
daerah tersebut, siapa yang bodoh?
Terlalu memanjakan? Memberi pertolongan kecil dianggap
“terlalu memanjakan?
p.s. untuk kedepannya, gue hanya ingin KIR SMAN 54 mengubah
cara PAB mereka karena terakhir yang gue dengar/baca, masih ada yang menyuruh
anggota baru untuk mencium pohon dan mereka bangga telah menyuruh anggota baru melakukan hal tersebut.
p.p.s untuk gue sendiri, talking is a lot easier than taking
an action. Mungkin kedepannya gue akan membantu dengan memberi masukan langsung
ke pengurus KIR nanti suatu waktu. Bukan mencari alasan, but being a college
student is hard as fuck.
whoa.... gimana kalo ekstrakurikuler yang anu dan itu kak ;)
ReplyDelete