Wednesday, February 20, 2013

Did High-school Ends?



Belakangan ini, gue sering bertanya ke diri gue sendiri: “Kenapa SMA dan perkuliahan rasanya (hampir) sama?”

Bukan, gue bukan sedang membicarakan masalah sistem seperti “boleh memakai baju bebas”, “rambut boleh panjang”, dan berbagai macam perbedaan sistem lainnya.

Yang gue bicarakan adalah “perasaan” saat sedang menjalain perkuliahan, yang “rasa”nya hampir sama saat menjalani masa-masa SMA.

Bingung? Oke, akan gue coba jelaskan.

Saat lulus SD (swasta) dan masuk SMP (negeri), gue merasakan perubahaan suasana yang amat jauh.

Mulai dari orang-orangnya, guru-gurunya, terutama interaksi di sekolah, gue merasakan perbedaan yang teramat jauh.

Contohnya adalah saat SD, waktu istirahat biasanya lapangan digunakan untuk bermain bola sedangkan saat SMP, hal tersebut sudah tidak lagi (hal ini juga yang menyebabkan hilangnya hobi bermain bola gue). Selain itu, di SMP gue mengenal budaya teriak-ke-seseorang-yang-berjalan-sendirian-di-tengah-lapangan-kosong. Bodoh? Tentu saja, tapi gue lebih bodoh lagi karena ikut-ikutan.

Iya, pada masa SMP, gue hanya seonggok bocah yang merasa keren karena ikut-ikutan.

Di SMP itu juga gue (menurut gue) berada di titik terendah dalam hidup gue. Salah memilih teman, logika yang salah, sok mengenal cinta, sikap dan pola pikir dan lain-lain. Pokoknya kalau sekarang gue bertemu dengan diri gue sendiri di masa SMP, udah pasti gue pukulin.

Untungnya, waktu itu gue belum mengenal yang namanya Twitter.

Berlanjut ke SMA, gue (untungnya) mengalami perubahan lagi. Gue menyesali sikap gue di SMP dan gue—layaknya burung phoenix yang muncul dari debunya sendiri—menjadi diri gue yang baru. Hal itupun akibat gue bertemu dengan mereka mereka yang membuat gue nyaman menjadi diri gue sendiri.

*tinju lengan*

Selain itu, pola pikir gue mengalami perubahan drastis. Tentang cara berpikir, cara berpendapat, tentang cinta, dan berbagai macam hal lainnya mengalami perubahan yang akhirnya membuat gue bangga dengan diri gue sendiri.

Selain hal baik, tentu saja gue mengenal hal buruk. Untungnya gue gak masuk ke dalam hal buruk ini.

Hal buruk yang gue bicarakan adalah suatu sistem bullying legal yaitu PAB/MOS/LDK.

Gue merasa itu sistem terbodoh yang ada di dunia ini. Sekelompok orang yang baru masuk ke suatu tempat baru, pasti membutuhkan pertolongan untuk mengenal tempat tersebut. Tapi bukannya dibantu, malah ditindas dan diberi teriakan.

Sebut gue manja/cengeng, tapi gue sama sekali gak suka diteriakin di depan wajah. Apapun alasannya.

Jangan salah, gue menikmati waktu yang gue habiskan di KIR (minus di-PAB-kan dan meng-LDK-kan), tapi sampai sekarang, gue gak pernah merasa diterima di ekskur tersebut.

Hmmm... entah kenapa rasanya gue menemukan jawaban untuk pertanyaan gue.

Oke, kembali ke pertanyaan awal gue: “Kenapa SMA dan perkuliahan rasanya (hampir) sama?”

Mungkin karena mindset gue gak mengalami perubahan yang teramat drastis, mungkin karena gue diterima di fakultas yang unik ini dengan cara yang teramat kekanak-kanakan layaknya PAB/MOS/LDK di masa SMA, mungkin karena gue menemukan teman-teman baru yang nyaman yang mirip dengan teman-teman SMA waktu pertama kali gue menjejakkan kaki gue di tempat itu.

Mungkin...






p.s. For all the people whom I considered as “friend”: Thanks, buddy.

No comments:

Post a Comment